get app
inews
Aa Text
Read Next : Dorong Transparansi Publik, PDI Perjungan Surabaya Hadirkan Kanal Informasi Digital Terpadu

Ketika Simbol Negara Tersisih Konten Viral, Tanda Bahaya di Era Media Sosial

Sabtu, 09 Agustus 2025 | 06:02 WIB
header img
Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA Dosen Sistem dan Teknologi Informasi (Sistekin) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya. Foto iNewsSurabaya/ist

SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, sebuah fenomena unik sekaligus mengkhawatirkan muncul di ruang publik. Di beberapa lokasi, bendera bajak laut Jolly Roger dari serial anime One Piece berkibar sejajar, bahkan terkadang lebih mencolok, dibanding Sang Saka Merah Putih. Fenomena ini bukan sekadar tren budaya pop, tetapi tanda pergeseran cara sebagian masyarakat, khususnya generasi muda, memaknai simbol perjuangan bangsa.

Di jalanan, media sosial, hingga acara bertema kebangsaan, lambang fiksi ini hadir berdampingan dengan bendera negara. Kreativitas dan kebebasan berekspresi tentu perlu dihargai, namun ada garis batas yang harus dijaga: Merah Putih bukan sekadar ornamen visual. Ia adalah simbol harga diri dan sejarah yang tak bisa diperlakukan sembarangan.

Generasi muda kini tumbuh di era di mana ekspresi diri kerap diukur dari like, share, dan retweet. Budaya pop seperti One Piece memang mengandung pesan perlawanan terhadap ketidakadilan, namun memposisikan bendera fiksi setara dengan lambang negara berpotensi mengaburkan nilai-nilai kebangsaan.

Kritik sosial dan sindiran terhadap situasi bangsa memang sah dilakukan. Tetapi ketika simbol negara digunakan hanya demi sensasi digital, makna yang terkandung di dalamnya terancam terkikis. Nilai perjuangan bisa tergantikan oleh algoritma yang lebih mementingkan konten menghibur dibanding yang mendidik.

Fenomena ini tidak lepas dari peran algoritma media sosial. Sistem rekomendasi berbasis content-based filtering membuat pengguna terus terpapar pada jenis konten yang mereka sukai. Konten ringan, lucu, dan mudah dibagikan menyebar jauh lebih cepat dibanding materi edukasi kebangsaan.

Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat hanya menerima informasi yang menyenangkan hati, bukan yang seharusnya mereka pahami. Inilah yang memunculkan nasionalisme digital disorientatif—identitas bangsa terombang-ambing oleh arus tren tanpa jangkar nilai.

Merah Putih Harus Eksis di Dunia Nyata dan Virtual

Pertanyaan pentingnya: mengapa Merah Putih kalah pamor di jagat digital? Jawabannya terletak pada cara kita membangun narasi kebangsaan di era teknologi.

Pemerintah, lembaga pendidikan, kreator konten, dan pengembang teknologi harus bersinergi. Simbol kebangsaan perlu hadir dalam bentuk konten kreatif seperti filter media sosial, augmented reality, komik digital, hingga mobile game yang mengangkat semangat perjuangan. Bahkan, dibutuhkan dashboard digital nasional untuk memantau tren konten dan mendeteksi materi yang berpotensi mengikis identitas bangsa.

Nasionalisme tak harus kaku. Ia bisa fleksibel, kreatif, dan mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi. Mengagumi karakter fiksi seperti Luffy sah-sah saja, tetapi kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh pahlawan nyata, bukan tokoh animasi.

Membangun nasionalisme digital berarti membentuk arsitektur algoritma yang berpihak pada nilai kebangsaan. Platform perlu diarahkan untuk menyematkan konten edukatif kebangsaan di alur rekomendasi utama. Jika tidak, teknologi justru akan mereduksi perjuangan menjadi sekadar konten viral yang cepat terlupakan.

Penulis: 

Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA

Dosen Sistem dan Teknologi Informasi (Sistekin) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

 

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut