Kasus Klaim Tanah Pertamina di Surabaya Jadi Sorotan Nasional, DPR Siapkan Pansus Pertanahan
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Ribuan warga dari tiga kecamatan di Surabaya, yakni Dukuh Pakis, Wonokromo, dan Wonocolo, kini hidup dalam ketidakpastian. Lahan seluas 534 hektare yang telah mereka tempati selama puluhan tahun—lengkap dengan sertifikat resmi dan kewajiban pajak yang rutin dibayar—mendadak diklaim sebagai aset milik Pertamina.
Kabar itu sontak mengguncang warga. Banyak di antara mereka sudah menempati tanah tersebut secara turun-temurun. Di atas lahan itu kini berdiri rumah, sekolah, rumah sakit, hingga pusat perbelanjaan. Namun semua bisa saja lenyap jika status kepemilikan berubah.
DPR dan Pemkot Turun Tangan
Melihat keresahan masyarakat, Anggota DPR RI Adies Kadir bersama Wakil Wali Kota Surabaya Armuji (Cak Ji) turun langsung menemui warga dalam forum terbuka, Rabu (15/10). Suasana haru dan tegang mewarnai pertemuan itu—banyak warga membawa dokumen kepemilikan sebagai bukti bahwa mereka adalah pemilik sah lahan tersebut.
Adies Kadir menegaskan akan mengawal kasus ini hingga ke tingkat pusat. Ia menilai klaim Pertamina yang didasarkan pada Eigendom Verponding (E.V.) No. 1305 dan No. 1278 sudah tidak relevan.
“Hak eigendom sudah gugur sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Warga punya SHM, HGB, dan mereka taat bayar PBB. Tapi hanya dengan surat, sertifikat mereka diblokir BPN. Ini tidak adil dan mengancam kepastian hukum,” tegasnya.
Adies juga mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Pertanahan DPR RI agar kasus ini dibuka secara nasional, bukan hanya dilihat sebagai masalah lokal Surabaya.
Dari pihak pemerintah, Kepala Kantor Pertanahan Surabaya I, Budi Hartanto, mengakui bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki keterbatasan dalam menyelesaikan sengketa tersebut karena menyangkut aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Penyelesaian harus di tingkat kementerian. Tapi kami terus melaporkan perkembangan dan berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan,” ujarnya.
Budi memastikan bahwa sertifikat hak milik (SHM) yang dipegang warga tetap sah dan diterbitkan secara legal sesuai prosedur.
“Sertifikat itu terbit sebelum klaim Pertamina muncul, jadi secara hukum masih sah. Warga tidak perlu khawatir karena datanya masih tercatat di kantor pertanahan,” tambahnya.
Meski demikian, status blokir terhadap lahan warga membuat mereka tidak bisa menjual, menghibahkan, atau menjaminkan tanahnya di bank. Situasi ini membuat banyak keluarga terjebak dalam ketidakpastian ekonomi.
Budi mengungkapkan bahwa kementerian terkait telah merespons laporan tersebut dan berencana menggelar rapat koordinasi lintas kementerian dalam waktu dekat.
“Beberapa waktu lalu, Menko Infrastruktur sudah mengundang kementerian terkait untuk membahas penyelesaian kasus ini,” jelasnya.
Meski ada sedikit titik terang, warga berharap pemerintah benar-benar hadir dan berpihak. Mereka tak ingin kehilangan hak atas tanah yang telah mereka rawat, bayar pajaknya, dan di atasnya mereka membangun kehidupan.
“Kami ini rakyat kecil. Kalau tanah kami diambil, kami harus ke mana?” keluh seorang warga Wonokromo dengan mata berkaca-kaca.
Kini, ribuan keluarga hanya bisa menunggu kepastian dari pemerintah pusat. Di tengah tumpukan dokumen dan sertifikat yang masih mereka genggam, satu harapan tetap mereka jaga: negara hadir melindungi rakyatnya, bukan justru membuat mereka kehilangan tempat tinggal.
Editor : Arif Ardliyanto