get app
inews
Aa Text
Read Next : Kontroversi Program TV Swasta Lecehkan Pesantren, LPBH PCNU Surabaya Kaji Langkah Hukum

Ketika Cium Tangan Santri Disalahartikan: Krisis Literasi Budaya di Layar TV

Kamis, 16 Oktober 2025 | 14:14 WIB
header img
Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Foto iNewsSurabaya/tangkap layar

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Tagar #BoikotTrans7 kembali memanaskan ruang publik digital Indonesia. Pemicunya adalah cuplikan acara “Xpose Uncensored” yang tayang di Trans7. Tayangan itu menyinggung sebagian besar masyarakat pesantren karena dinilai melecehkan simbol-simbol keagamaan dan martabat para santri.

Protes pun bermunculan di berbagai lini. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas Islam menilai tayangan tersebut telah melanggar batas etika. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) bahkan menginstruksikan LPBH PBNU untuk menempuh langkah hukum. Reaksi ini bukan semata karena tersinggung, tetapi karena pesantren selama ini menjadi benteng moral masyarakat.

Bagi masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi pusat nilai dan karakter sosial. Maka ketika simbol-simbolnya dijadikan bahan olok-olok, publik menilai media tersebut kehilangan empati dan wawasan budaya.

Kita memang hidup di era kebebasan berekspresi, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun kebebasan itu bukan tanpa batas.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, ditegaskan bahwa isi siaran tidak boleh melecehkan nilai agama, menyinggung kelompok sosial, atau merendahkan martabat manusia. Pedoman P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) dari KPI juga mewajibkan setiap program menghormati keberagaman budaya dan keyakinan.

Artinya, kebebasan media harus berjalan seiring tanggung jawab sosial. Media tidak cukup sekadar “menyiarkan fakta”, tetapi juga perlu memahami konteks budaya yang menyertai.

Cium Tangan dan Amplop: Antara Adab dan Salah Tafsir

Kesalahan terbesar program tersebut adalah gagal memahami makna simbolik tradisi pesantren. Dalam tayangan itu, cium tangan santri kepada kiai disebut sebagai bentuk “perbudakan”. Padahal dalam tradisi pesantren, itu merupakan adab dan penghormatan, bukan simbol ketundukan sosial.

Begitu juga narasi tentang pemberian amplop kepada kiai yang dianggap sebagai “meminta-minta”. Faktanya, itu merupakan tradisi penghormatan dan rasa syukur atas ilmu serta pengabdian sang guru spiritual.

Inilah pentingnya moral reading dalam memahami hukum dan budaya. Penilaian atas suatu tindakan tidak cukup berdasarkan teks atau visual semata, tetapi perlu membaca nilai dan makna di baliknya.

Kata pesantren berasal dari istilah santri yang diberi imbuhan pe- dan -an, berarti tempat para santri belajar. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, santri berasal dari kata cantrik—murid yang setia mengikuti gurunya. Hubungan guru dan murid dalam pesantren bukan sekadar akademik, melainkan spiritual dan moral.

Antropolog Zamakhsyari Dhofier menulis bahwa pesantren tumbuh dari empat pilar: pondok, masjid, kiai, dan santri. Dari sini lahir komunitas belajar yang ikhlas, sederhana, dan berkarakter.

Dari rahim pesantren pula lahir tokoh besar bangsa: KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, KH Wahab Chasbullah, dan banyak lainnya. Mereka bukan hanya ulama, tapi juga perancang fondasi moral Republik Indonesia. Maka, ketika Trans7 menampilkan kiai dengan nada satir, wajar jika publik marah—terlebih yang disinggung adalah KH Anwar Manshur (Mbah Yai War), tokoh kharismatik dari Lirboyo.

Gerakan #BoikotTrans7 sebenarnya bisa menjadi momentum refleksi bersama, bukan sekadar pelampiasan kemarahan. Media perlu memahami kembali batas etika penyiaran, sementara masyarakat juga perlu mendorong dialog, bukan permusuhan.

Menurut P3SPS KPI, lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan agama dan budaya, serta tidak boleh menayangkan program yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan publik. Sanksinya bisa berupa teguran tertulis, pemberhentian program sementara, bahkan pencabutan izin siaran jika pelanggaran berulang.

Namun, lebih penting dari sekadar sanksi adalah pendidikan etik media. Media perlu belajar dari prinsip tabayun yang diajarkan pesantren: klarifikasi sebelum menyimpulkan. Datanglah, dengarkan, pahami—baru siarkan.

Pesantren dan Media: Dua Sekolah Publik yang Harus Bersinergi

Pesantren dan media sebenarnya punya misi yang sama: mendidik publik. Bedanya, pesantren mendidik dengan keteladanan dan keheningan, sementara media mendidik dengan suara dan gambar. Jika keduanya saling memahami, ruang publik kita akan lebih beradab.

Boikot mungkin perlu sebagai “wake-up call”. Tetapi setelah kesadaran tumbuh, dialog adalah jalan terbaik. Karena pada akhirnya, kebebasan berekspresi hanya bermakna bila disertai tanggung jawab moral terhadap sesama manusia—termasuk terhadap pesantren dan tradisi luhur yang telah menjaga akhlak bangsa selama berabad-abad.

Oleh: 

Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut