Bukan Mengendap, Ini Alasan Pemkot Surabaya Punya SILPA Rp234 Miliar
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Sorotan tajam dari Pemerintah Pusat terkait dana daerah yang mengendap di perbankan membuat sejumlah pemerintah daerah waspada. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya pun memberikan penjelasan terbuka mengenai munculnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) per Oktober 2025 yang tercatat mencapai Rp234,44 miliar.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan, kondisi tersebut bukanlah bentuk kelalaian, melainkan bagian dari sistem pengelolaan keuangan daerah yang menyesuaikan dengan arus pendapatan dan kebutuhan rutin Pemkot.
“Pendapatan daerah terdiri dari dua sumber utama, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Transfer ke Daerah (TKD). Keduanya menjadi tulang punggung dalam struktur APBD,” ujar Eri Cahyadi, Senin (27/10/2025).
Menurut Eri, sekitar 75 persen pendapatan Surabaya berasal dari PAD, sehingga aliran dana tidak bisa langsung dimanfaatkan di awal tahun anggaran. Beberapa proyek fisik baru bisa dijalankan setelah pendapatan dari pajak dan retribusi mulai masuk ke kas daerah.
“Karena mayoritas uangnya dari PAD, otomatis setiap bulan kita harus punya cadangan dana untuk kebutuhan wajib. Jadi muncul SILPA itu bukan karena uang mengendap, tapi memang harus disiapkan,” jelasnya.
Eri menyebut, dana SILPA digunakan untuk membayar kebutuhan wajib seperti gaji pegawai, listrik, dan air yang nilainya mencapai Rp400–500 juta per bulan. Dana itu, kata dia, wajib disimpan minimal untuk dua bulan agar pembayaran kebutuhan rutin tidak terhambat.
“Kalau daerah berani langsung pakai tanpa cadangan, risikonya besar. Kita harus pastikan belanja wajib bisa dibayar tepat waktu,” tuturnya.
Selain untuk kebutuhan rutin, Eri juga menjelaskan bahwa proyek-proyek fisik Pemkot Surabaya biasanya baru dimulai pertengahan tahun dan selesai pada November. Hal itu karena proses lelang baru bisa dilakukan setelah PAD masuk.
“Lelang baru bisa jalan sekitar Maret–April. Jadi proyek selesai di akhir tahun, bukan karena lambat, tapi karena mengikuti arus pendapatan,” tambahnya.
Eri juga mencontohkan dana dari pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), hingga Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang umumnya cair setiap triwulan.
“Kalau dana pusat turun di tengah tahun, tentu tidak bisa langsung digunakan di Januari. Harus menyesuaikan waktu transfer,” ungkapnya.
Sebagai Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Eri menegaskan bahwa fenomena SILPA juga dialami oleh kota-kota besar lain di Indonesia, terutama yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap PAD.
“Sama seperti Surabaya, kota besar lain juga baru bisa memulai proyek di pertengahan tahun karena menunggu pemasukan daerah,” tegasnya.
Eri memastikan, SILPA di Surabaya tidak pernah dibiarkan mengendap tanpa tujuan dan tetap dikelola sesuai mekanisme keuangan daerah.
“Kalau uang sudah masuk tapi tidak segera digunakan sampai tahun berikutnya, itu baru salah. Tapi kalau dipakai untuk menjaga kestabilan keuangan, itu bagian dari tata kelola yang benar,” jelasnya.
Terkait kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang melarang dana daerah disimpan di bank luar wilayah, Eri menyatakan dukungannya.
“Kalau dana Surabaya ditaruh di bank di luar daerah, jelas itu keliru. Tapi selama dikelola sesuai kebutuhan dan aturan, tidak ada yang salah dengan adanya SILPA,” tandasnya.
Editor : Arif Ardliyanto