Ketika Ibadah Tak Lagi Aman, Refleksi dari Kasus di Masjid Bandar Lampung
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Berita tentang TR (22), seorang perempuan muda yang dilecehkan dan dianiaya saat sedang salat Dzuhur di Masjid Darul Iman, Bandar Lampung, akhir Oktober lalu, menyisakan luka kolektif bagi kita semua. Luka yang bukan hanya milik korban, tetapi juga milik masyarakat yang kembali dihadapkan pada kenyataan: bahkan di tempat suci sekalipun, perempuan belum tentu aman.
Pelaku, Thoriq (23), yang kini ditahan polisi, terekam CCTV menduduki kepala korban, meraba tubuhnya, lalu memukul. Motifnya disebut sebagai fetish terhadap perempuan berhijab dan ketertarikan pribadi terhadap korban. Tetapi, di balik motif itu, ada sesuatu yang lebih dalam, cermin dari betapa rapuhnya perlindungan terhadap perempuan di ruang publik kita.
Begitu kasus ini viral, media sosial langsung ramai. Sayangnya, bukan hanya simpati yang muncul, tapi juga komentar menyakitkan: “Kenapa salat sendirian?”, “Seharusnya di rumah saja.”
Pernyataan-pernyataan ini terdengar sepele, tapi sesungguhnya memperlihatkan wajah lama budaya victim blaming di masyarakat kita, sebuah pola pikir yang secara halus menempatkan kesalahan pada korban, bukan pada pelaku.
Padahal, dalam ajaran Islam, masjid adalah rumah Allah, tempat yang suci dan aman untuk siapa pun yang ingin beribadah, baik laki-laki maupun perempuan. Mengatakan bahwa perempuan seharusnya tidak ke masjid hanya memperkuat tembok patriarki yang sudah lama membatasi ruang gerak mereka.
Masjid, CCTV, dan Rasa Aman yang Hilang
Kita patut bertanya, bagaimana mungkin tindakan sekeji itu bisa terjadi di rumah ibadah? Bukankah masjid seharusnya jadi tempat yang paling menenangkan?
Kamera CCTV memang membantu membongkar peristiwa tersebut. Tapi pengawasan yang reaktif tak akan cukup tanpa sistem pencegahan. Mungkin sudah saatnya pengurus masjid berpikir ulang soal keamanan: patroli rutin, tata letak ruang ibadah yang lebih aman, dan pengawasan berbasis komunitas tanpa mengurangi kekhusyukan ibadah.
Karena rasa aman bukan sekadar soal teknologi, tapi juga soal kehadiran manusia yang peduli.
Data Kementerian PPPA menunjukkan peningkatan kasus kekerasan seksual di ruang publik dalam beberapa tahun terakhir. Dari sekolah, transportasi umum, hingga tempat ibadah, semuanya menunjukkan pola yang sama: lemahnya kesadaran tentang consent (persetujuan) dan batas pribadi.
Banyak pelaku berlindung di balik dalih “gangguan jiwa” atau “ketidaksengajaan”. Tapi pertanyaannya, sampai kapan alasan itu dijadikan tameng dari tanggung jawab hukum dan moral?
Kasus TR seharusnya menjadi momentum untuk berhenti melihat kekerasan seksual sebagai “masalah perempuan”. Ini adalah persoalan kemanusiaan, tanggung jawab kita bersama.
Hukum memang harus ditegakkan dengan tegas melalui UU TPKS, tapi hukum saja tidak cukup. Dibutuhkan edukasi sosial yang konsisten—tentang empati, kesetaraan, dan keberanian untuk bersuara. Dari sekolah, dari mimbar khutbah, dari media sosial kita sendiri.
Perempuan tidak butuh belas kasihan, mereka butuh keadilan dan ruang aman untuk hidup dan beribadah tanpa rasa takut.
Karena di akhir hari, keadilan sejati bukan hanya ketika pelaku dihukum, tapi ketika tak ada lagi yang perlu takut datang ke masjid sendirian.
Penulis :
Larasaty Karina Zahwa, Lovisty Anindya, Liemmanda, Devina Aurelia Prastika, Devina Dwi Nur’aini, dan Arnanda Dysa Renata
(Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Editor : Arif Ardliyanto