Pendidikan Berkualitas, Mimpi Lama yang Belum Tuntas
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2015, dunia punya cita-cita bersama: membangun masa depan yang berkelanjutan hingga 2030. Dari 17 tujuan besar itu, SDG 4 menjadi salah satu yang paling krusial — memastikan pendidikan yang inklusif, merata, dan berkualitas untuk semua.
Namun di Indonesia, cita-cita ini masih berjarak jauh dari kenyataan. Meski konstitusi menjamin hak atas pendidikan bagi setiap warga negara, ketimpangan akses dan kualitas masih terasa tajam antara kota besar dan daerah terpencil.
Di atas kertas, pendidikan adalah hak semua anak Indonesia. Tapi di lapangan, fakta berkata lain. Anak-anak di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) masih berjuang menempuh jarak puluhan kilometer hanya untuk sampai ke sekolah. Gedung belajar rusak, buku terbatas, dan guru berstatus honorer menjadi pemandangan biasa. Ironisnya, di kota besar, sekolah internasional tumbuh pesat dengan fasilitas lengkap — menciptakan jurang yang makin dalam antara “sekolah elit” dan “sekolah bertahan hidup”.
Pertanyaannya: sampai kapan kesenjangan ini dianggap normal?
Masalah pendidikan bukan hanya soal akses, tapi juga arah kebijakan yang tidak konsisten. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia sudah berkali-kali mengganti kurikulum — dari KTSP 2006, Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka.
Setiap pergantian membawa semangat baru, tapi juga kebingungan baru. Guru harus beradaptasi lagi, sekolah menyesuaikan administrasi lagi, dan murid... menjadi korban eksperimen kebijakan.
Alih-alih menumbuhkan inovasi, perubahan yang terlalu sering justru membuat kualitas pembelajaran stagnan. Pendidikan seharusnya memberi kepastian arah belajar, bukan ketidakpastian setiap kali kursi menteri berganti.
Editor : Arif Ardliyanto