Festival Kretekroncong 2025, Harmoni Budaya Rakyat yang Berjuang di Tengah Arus Modernisasi
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Di tengah derasnya arus modernisasi dan tekanan global, dua budaya khas Indonesia, kretek dan musik keroncong terus dijaga sebagai simbol kreativitas rakyat dan jati diri bangsa. Kedua warisan budaya ini berpadu indah dalam Festival Kretekroncong 2025 yang digelar Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) bekerja sama dengan Lembaga Kajian Ekonomi, Budaya, dan Transformasi Sosial Lentera Nusantara.
Festival ini bukan sekadar panggung seni, tetapi juga ajang refleksi tentang bagaimana kearifan lokal mampu bertahan di tengah perubahan zaman. Dalam denting alat musik keroncong dan aroma khas kretek, tersimpan kisah panjang perjuangan rakyat kecil yang tak lekang oleh waktu.
Direktur Lentera Nusantara, Irfan Wahyudi, mengatakan bahwa kretek dan keroncong sama-sama lahir dari tangan rakyat biasa — dari peluh pekerja hingga naluri seni yang tulus.
“Kretek dan keroncong adalah representasi jati diri bangsa. Keduanya lahir dari lorong kehidupan rakyat dan tumbuh di tengah keterbatasan,” ujarnya.
Namun, Irfan juga menyoroti bahwa dua simbol budaya ini kini menghadapi ancaman serius. Regulasi ketat dan perubahan nilai sosial dinilai membuat warisan budaya kian terpinggirkan.
“Kita perlu kebijakan yang tidak hanya menekan, tetapi juga merawat. Seperti harmoni dalam musik keroncong, setiap nada memiliki tempatnya, setiap instrumen punya peran penting,” tambahnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya, Sulami Bahar, menegaskan bahwa industri hasil tembakau (IHT) masih menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
“Pada tahun 2024, kontribusi IHT mencapai Rp218 triliun, dan sekitar 65 persen di antaranya berasal dari Jawa Timur,” ungkapnya.
Selain menopang penerimaan negara hingga 11 persen dari total APBN, industri ini juga menyerap lebih dari enam juta tenaga kerja di berbagai lini — mulai dari petani, buruh linting, hingga pelaku distribusi. Sulami menilai, rantai pasok kretek adalah ekosistem ekonomi rakyat yang sepenuhnya berbasis lokal.
Meski demikian, ia mengakui tantangan yang dihadapi industri ini tidak ringan. Lebih dari 500 regulasi disebut membebani pelaku usaha, ditambah kenaikan tarif cukai yang kerap menekan industri kecil dan menengah.
“Alhamdulillah, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai di tahun 2026 memberi napas bagi industri,” katanya.
Sulami juga mengkritisi kebijakan nonfiskal seperti pembatasan kadar nikotin yang dinilai bisa mengancam keberlangsungan kretek lokal.
“Jika kadar nikotin dibatasi hanya 2 miligram, maka cita rasa tembakau Nusantara akan hilang. Ini bukan hanya soal industri, tapi soal identitas budaya bangsa,” tegasnya.
Sementara itu, Rektor UWKS Prof. Nugrahini Susantinah Wisnujati menilai perlunya kebijakan strategis yang berpihak pada keberlanjutan ekonomi rakyat. Ia mendorong penguatan hilirisasi produk tembakau agar Indonesia tidak sekadar mengekspor bahan mentah, melainkan mampu menghasilkan produk bernilai tambah tinggi di dalam negeri.
“Kita perlu ekosistem yang melibatkan petani, lembaga riset, hingga industri kecil menengah agar inovasi dan diversifikasi produk tembakau terus berkembang,” ujarnya.
Prof. Nugrahini juga mengusulkan agar tembakau Indonesia memiliki indikasi geografis (IG) seperti kopi Gayo atau cokelat Sulawesi, agar produk lokal memiliki daya saing global dan terlindungi dari imitasi.
“IG akan meningkatkan kepercayaan pasar internasional sekaligus menjaga karakteristik tembakau Nusantara yang unik,” tambahnya.
Menurutnya, di tengah arus globalisasi dan kampanye anti-tembakau internasional, riset lintas disiplin sangat penting agar kebijakan publik bersifat ilmiah dan berimbang.
“Kita tidak boleh hanya melihat dari sisi bahaya rokok. Akademisi perlu memberi pandangan objektif berdasarkan penelitian yang komprehensif,” tegasnya.
Lebih dari sekadar perayaan budaya, Festival Kretekroncong 2025 menjadi simbol kesadaran nasional untuk merawat warisan leluhur. Harmoni antara denting keroncong dan aroma kretek menggambarkan keseimbangan antara seni, ekonomi, dan kemanusiaan.
“Budaya bukan beban masa lalu, melainkan fondasi masa depan. Seperti musik keroncong, bangsa ini akan terus indah jika setiap elemennya saling berpadu.” ujar Irfan Wahyudi
Editor : Arif Ardliyanto