Front Pembebasan Rakyat Desak Pemerintah Batalkan Wacana Gelar Pahlawan pada Soeharto
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali memantik penolakan. Front Pembebasan Rakyat (FPR), sebuah jaringan gerakan yang terdiri dari aktivis lintas kampus dan elemen reformasi 1998, menyatakan menolak keras rencana tersebut.
Mereka menilai, pemberian gelar itu justru berpotensi mengaburkan catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, serta pembatasan kebebasan sipil selama masa Orde Baru.
Anggota FPR sekaligus alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Agus Wiryono menegaskan bahwa gelar Pahlawan Nasional harus diberikan kepada sosok yang memperjuangkan demokrasi, keadilan, dan hak rakyat.
Sementara masa kekuasaan Soeharto, tidak bisa dilepaskan dari tragedi politik 1965, pembungkaman pers dan akademisi, hingga kekerasan terhadap masyarakat sipil dan oposisi.
“Kami menyaksikan sendiri bagaimana ruang demokrasi dicabut dari rakyat. Penangkapan tanpa proses hukum, pembredelan media, represi kampus. Mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sama saja menutup luka para korban,” ujarnya, Minggu (9/11/2025).
Aktivis lulusan Universitas Airlangga (Unair), Heru Krisdianto, juga menilai bahwa rencana pemberian gelar tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap perjuangan Reformasi 1998.
“Reformasi adalah jeritan rakyat yang tak sanggup lagi menahan penindasan. Banyak kawan kami diculik, dipenjara, bahkan hilang hingga kini tanpa kabar. Memberi gelar pahlawan kepada orang yang kekuasaannya berdiri di atas rasa takut jelas tidak tepat,” tegasnya.
Sementara itu, Onny Wiranda, aktivis alumni Universitas Kristen (UK) Petra, menekankan bahwa penghormatan terhadap sejarah bukan berarti melupakan sisi gelap yang menyertai.
“Ini bukan soal dendam. Ini soal kejujuran dalam melihat sejarah dan menghormati para korban. Teladan bangsa harus lahir dari keberanian membela rakyat, bukan dari melupakan kesalahan masa lalu,” katanya.
FPR menyerukan agar pemerintah tidak mengambil langkah yang justru merusak ingatan sejarah nasional. Menurut mereka, bangsa hanya dapat melangkah maju apabila berdamai dengan masa lalu melalui pengakuan dan kejujuran sejarah, bukan dengan memutihkan peristiwa yang melukai rakyat.
Editor : Arif Ardliyanto