Bencana Banjir Sumatera, Ujian Ketahanan Kota di Ujung Tanduk, Apa yang Salah dengan Tata Ruang?
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Bencana banjir yang melanda Sumatera Utara, Aceh, hingga Sumatera Barat kembali mengingatkan kita bahwa perubahan iklim bukan lagi sekadar diskusi akademik atau seminar kampus. Ia sudah mengetuk pintu rumah-rumah warga, merusak kota, dan memaksa kita bertanya ulang: apakah arsitektur kota dan tata ruang kita benar-benar siap menghadapi cuaca ekstrem yang makin sulit diprediksi?
Sebagai akademisi yang bergelut dengan isu ketahanan kota, saya menyampaikan duka mendalam untuk seluruh korban dan penyintas. Namun di balik kesedihan itu, ada satu kenyataan pahit yang perlu kita hadapi bersama: hampir semua kota di Indonesia belum benar-benar siap menghadapi skenario iklim masa depan.
Ketika Bencana Tak Lagi Bisa Disebut “Alamiah”
Banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera tidak terjadi dalam ruang hampa. Data awal menunjukkan bahwa intensitas hujan ekstrem, perubahan pola angin, hingga kerusakan morfologi sungai menjadi pemicu utama. Inilah bukti nyata bahwa perubahan iklim sudah mengubah tatanan ekologis yang selama ini kita anggap stabil.
Jika dulu perencana kota dapat membuat prediksi dalam rentang 20–30 tahun, kini semuanya bergerak jauh lebih cepat. Artinya, master plan kota harus menjadi dokumen living, bukan berkas statis yang hanya dibuka ketika masa revisi lima tahunan tiba.
Sebagian besar kota di Indonesia berkembang secara organik di sekitar sungai—mirip banyak kota di Asia. Sungai dulu menjadi pusat perdagangan dan aktivitas masyarakat. Namun ketika kota makin padat, pinggir sungai justru dijadikan area hunian, bisnis, hingga bangunan informal yang menyempitkan aliran air.
Di saat yang sama, daerah resapan hilang, tata kelola sungai melemah, dan volume air dari hulu tetap besar. Alhasil, ketika cuaca ekstrem datang, bencana menjadi tak terhindarkan.
Peristiwa di Sumatera menjadi pengingat bahwa pemerintah daerah harus berhenti menunda agenda penataan kota. Kita butuh perencanaan yang adaptif, berbasis data, dan relevan dengan realitas iklim hari ini.
Langkah pertama adalah melakukan pemetaan menyeluruh terhadap zona rawan banjir, longsor, serta wilayah yang sensitif terhadap kenaikan suhu ekstrem. Pembaruan peta lidar dan sonar penting untuk memahami pergerakan lahan dan kondisi hidrologi secara akurat.
Informasi geologi, hidrologi, dan iklim harus saling terhubung dalam perencanaan ruang. Tanpa fondasi data yang kuat, kota hanya akan dibangun di atas perkiraan, bukan kebenaran ilmiah.
Keseimbangan ruang terbangun dan ruang terbuka hijau harus menjadi parameter utama. Tanpa itu, kesejahteraan masyarakat akan selalu terancam oleh bencana berulang.
Peran Warga Sama Pentingnya dengan Regulasi
Setiap kebijakan, sebaik apa pun, tidak akan berhasil jika masyarakat tidak terlibat. Ketahanan kota bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga soal budaya dan kebiasaan warganya.
Bagaimana kita membuang sampah, bagaimana kita merawat sungai, bagaimana kita mengelola air hujan—semua itu turut menentukan masa depan kota. Teknologi secanggih apa pun tidak akan berfungsi tanpa partisipasi warga.
Kota yang tangguh lahir dari kolaborasi, bukan hanya perintah regulasi.
Saatnya Pentahelix Bekerja: Pemerintah–Akademisi–Bisnis–Masyarakat–Media
Bencana ini mengingatkan kita untuk berhenti saling menyalahkan. Untuk membangun kota yang benar-benar siap menghadapi perubahan iklim, kita membutuhkan model kolaborasi pentahelix.
Pemerintah mengatur.
Akademisi meneliti.
Praktisi dan bisnis mengaplikasikan.
Masyarakat menjaga.
Media menyuarakan.
Ketika lima aktor ini bekerja dalam satu irama, barulah kita bisa berharap memiliki kota yang benar-benar adaptif dan tangguh.
Banjir di Sumatera adalah luka sekaligus peringatan keras. Jika kita terus menunda penataan kota berbasis perubahan iklim, maka bencana serupa akan selalu berulang.
Jika kita ingin memastikan bahwa kota-kota Indonesia tetap layak huni puluhan tahun ke depan, langkah adaptasi harus dilakukan sekarang. Bukan besok, bukan nanti.
Penulis:
Dr., Ir., Ar., R.A. Retno Hastijanti, MT., IPU., IAI., APEC Eng. Dekan Fakultas Teknik, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto