Society 5.0: Antara Janji Pembebasan dan Ancaman Penjajahan Digital Baru
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Bayangkan suatu pagi ketika hidup kita sepenuhnya ditentukan oleh sistem yang tak kasatmata. Bukan oleh atasan, bukan pula oleh aparat negara, melainkan oleh deretan angka, algoritma, dan keputusan mesin yang bekerja di balik layar. Kita mungkin tak pernah bertemu “pengambil keputusan” itu, tetapi dampaknya nyata: apakah kita layak menerima bantuan sosial, lolos seleksi kerja, atau mendapat akses layanan publik tertentu.
Inilah wajah Society 5.0 yang kini mulai kita rasakan. Sebuah konsep yang menjanjikan kehidupan lebih mudah melalui Artificial Intelligence (AI), big data, dan Internet of Things. Teknologi diklaim akan memanusiakan manusia—membuat layanan publik lebih cepat, ekonomi lebih efisien, dan keputusan lebih objektif. Namun, di balik janji tersebut, muncul pertanyaan yang semakin relevan: benarkah teknologi membebaskan, atau justru menciptakan bentuk penjajahan baru yang lebih halus?
Teknologi awalnya hadir sebagai alat bantu. Namun kini, perlahan ia berubah menjadi pengatur hidup. Algoritma tidak hanya membantu analisis, tetapi juga menentukan nasib. Dalam banyak sistem digital, manusia direduksi menjadi sekumpulan data: skor, profil risiko, dan prediksi perilaku.
Masalahnya, kehidupan manusia tidak pernah sesederhana angka. Algoritma sulit memahami konteks sosial, empati, dan keadilan yang sering kali bersifat situasional. Efisiensi memang meningkat, tetapi ada harga mahal yang harus dibayar—hilangnya ruang diskresi dan sentuhan kemanusiaan dalam pengambilan keputusan.
Paradoks Society 5.0 pun muncul di sini. Teknologi yang diklaim memanusiakan justru berpotensi menjauhkan manusia dari nilai-nilai kemanusiaannya sendiri.
Janji akses setara melalui teknologi juga belum sepenuhnya terwujud. Realitas di Indonesia menunjukkan kesenjangan digital masih lebar. Akses internet, literasi digital, dan kesiapan infrastruktur tidak merata. Mereka yang memiliki modal pendidikan dan teknologi akan melaju lebih cepat, sementara kelompok lain tertinggal.
Dalam kondisi seperti ini, teknologi tidak otomatis menjadi solusi ketidakadilan sosial. Tanpa kebijakan yang inklusif, Society 5.0 justru berisiko memperlebar jurang ketimpangan. Kemajuan menjadi milik segelintir orang, sementara kelompok rentan hanya menjadi penonton dari narasi besar transformasi digital.
Obsesi pada efisiensi sering kali membuat kita lupa bahwa teknologi seharusnya melayani manusia, bukan sebaliknya. Ketika kecepatan dan akurasi dijadikan satu-satunya ukuran keberhasilan, nilai empati, keadilan, dan etika kerap tersingkir.
Editor : Arif Ardliyanto