Society 5.0: Antara Janji Pembebasan dan Ancaman Penjajahan Digital Baru
Kita mungkin akan hidup dalam masyarakat yang sangat canggih secara teknis, tetapi miskin kepekaan sosial. Terhubung secara digital, namun terasa semakin jauh secara emosional. Jika dibiarkan, teknologi tidak lagi menjadi alat pembebasan, melainkan penjajah baru—menguasai ruang keputusan manusia melalui sistem yang tidak selalu transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Teknologi bukan musuh. Ia memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan, memperluas akses pendidikan, dan memperbaiki layanan publik. Namun syaratnya satu: manusia harus tetap menjadi pusat kendali.
Di sinilah peran pendidikan dan perguruan tinggi menjadi sangat penting. Kampus tidak cukup hanya mencetak talenta digital yang unggul secara teknis, tetapi juga harus melahirkan individu yang kritis, beretika, dan peka terhadap dampak sosial teknologi. Masyarakat sipil pun perlu terlibat aktif mengawasi arah digitalisasi agar tidak melenceng dari kepentingan publik.
Pada akhirnya, Society 5.0 bukan soal seberapa canggih teknologi yang kita miliki. Pertanyaan sesungguhnya adalah seberapa bijak kita menggunakannya untuk menjaga martabat, keadilan, dan kemanusiaan manusia. Tanpa refleksi kritis, Society 5.0 bisa menjadi pembebasan. Namun tanpa kendali etis, ia berpotensi berubah menjadi penjajahan digital yang kita terima tanpa sadar.
Penulis :
Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto