Wagub Emil Soroti Stigma yang Bikin Perempuan Korban Kekerasan Enggan Melapor
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) Emil Elestianto Dardak mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Timur masih tergolong tinggi.
Ia menilai, banyak korban enggan melapor karena khawatir mendapat stigma negatif dan justru disalahkan oleh lingkungan sekitar. “Rata-rata perempuan yang mengalami kekerasan atau tekanan itu justru khawatir akan stigma, takut disalahkan. Ini yang membuat mereka memilih diam,” ujar Emil, Rabu (24/12/2025).
Untuk menjawab persoalan tersebut, Emil menyebut Pemprov Jatim melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) telah meluncurkan inovasi layanan Lapor Pak sejak sekitar dua tahun lalu. Program ini dirancang sebagai solusi holistik bagi korban kekerasan.
“Jadi bukan sekadar melapor lalu kasusnya diekspos dan korban dibiarkan menghadapi lingkungannya sendiri. Ada shelter, ada perlindungan menyeluruh dari pemerintah sampai mereka bisa bangkit kembali,” jelasnya.
Menurut Emil, kehadiran shelter atau safe house menjadi pintu aman bagi perempuan korban kekerasan yang tidak bisa kembali ke lingkungan asalnya. Ia menegaskan, negara harus hadir memberi ruang yang terbuka agar korban merasa aman dan berani bersuara.
“Yang paling tragis itu kalau sudah punya masalah di rumah tangga, tapi untuk pulang pun segan. Lalu mau ke mana? Di sinilah pemerintah harus menyediakan pintu yang paling terbuka agar mereka merasa tenang dan berani speak up,” tegasnya.
Emil menambahkan, upaya perlindungan ini juga bertujuan menyemangati kaum perempuan agar tidak takut melaporkan kekerasan yang dialami. Namun di sisi lain, penanganan akar persoalan juga harus dilakukan secara serius.
Ia menilai, penyebab kekerasan terhadap perempuan tidak bisa disederhanakan hanya pada satu faktor, seperti ekonomi atau sosial semata.
“Yang terlihat di kasus itu adalah tindakannya, kekerasan fisik atau verbal. Tapi akar masalahnya sering kali campuran, bisa ekonomi, sosial, kultural, semuanya mix. Jadi tidak bisa digeneralisir,” paparnya.
Karena itu, Pemprov Jatim terus mendorong kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan BKKBN dan berbagai elemen masyarakat, untuk memperkuat nilai-nilai keluarga dan ketahanan sosial.
“Penanganan kasus ini juga penting untuk memberi sinyal bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak boleh ditolerir. Ini bagian dari penghormatan terhadap kaum perempuan,” pungkas Emil.
Diketahui, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang tahun 2025 sebanyak 2.334 perempuan mengalami kekerasan.
Secara wilayah, kasus kekerasan paling banyak terjadi di Kabupaten Gresik (337 kasus), disusul Kota Surabaya (221 kasus), dan Kabupaten Tuban (182 kasus). Mayoritas korban berasal dari kelompok usia anak dan remaja.
Editor : Arif Ardliyanto