MOJOKERTO, iNews.id – Larangan berkerumun selama pandemi Covid-19 memiliki dampak yang sangat besar terhadap penyedia alat musik tradisional. Mereka harus bertahan hidup karena poduksi yang dilakukan tidak memiliki peminat.
Salah satu produksi alat musik tradisional yang mengalami imbas pandemi Covid-19 adalah produksi rebana dan bedug. Meski masuk bulan suci Ramadan tidak terjadi peningkatan permintaan konsumen. Mereka harus memikirkan otak untuk bisa bertahan hidup ditengah himpitan kebutuhan sehari-hari.
Nur Ali (27), perajin rebana dan bedug asal Desa Brangkal, Kecamatan Sooko, Mojokerto, mengatakan, saat ini dirinya masih memproduksi rabana meski pesanan tidak stabil. Sepinya permintaan pembuatan alat musik rebana telah berlangsung sejak Ramadan tahun 2020, bertepatan dengan awal tahun pandemi Covid-19. “Tiga tahun ini mulai pandemi Covid-19 hampir sama. Tak ada pesanan seperti dulu,” ujarnya di rumah produksinya, Desa Brangkal, Gang 8.
Hal tersebut, tidak terlepas dari kegiatan ibadah kaum muslim lebih banyak tadarus, tarawih tidak ada kegiatan pentas musik rebana. Menurut Ali memilih bertahan memproduksi rebana di tengah pandemi Covid-19 karena amanat orang tua. Dia merupakan generasi keempat dari keluarganya.
Toko atau rumah produksi alat musik rebana dan bedug yang diberi nama Agung Pasti Asih ini belum begitu banyak dikenal orang. Pemesan kebanyakan datang dari Mojokerto sendiri dan dua kota tetangga. Biasanya, konsumen memesan jika sudah mendekati bulan Sya’ban, Rajab, dan Ramdan, hingga Syawal. "Kalau pesanan rebana ini dari Mojokerto, Jombang, dan Sidoarjo,” tukas dia.
Tepatnya tahun 2020, Ali mulai meneruskan bisnis keluarga ini, memproduksi aneka jenis rebana. Selain itu tetap melayani jasa servis. Namun sayangnya, dia belum bisa menyetel nada. “Kalau service itu pasang kulit, kita bisa melalayani. Kalau menyetel nada kita tidak bisa,” tandasnya.
Pria ini mengaku melayani aneka kebutuhan rebana berbahan kayu, baik untuk aliran banjari atau pun Habib Syech (Habsy). Sementara di pasaran memang banyak jenis rebana berbahan plastik. Kisaran harga untuk ukuran standar (30 Cm) antara Rp200 ribu sampai Rp350 ribu. Pembeli biasanya akan menyesuaikan kebutuhan dan ketersediaan keuangan.
Satu set untuk versi Pekalongan misalnya 5 buah, 4 rebana dan bas. Kalau yang digunakan Habsy itu 9 buah. “Yang datang kesini kebanyakan hanya beli satuan saja,” sambung Ali.
Alat musik rebana dibuat dari bahan kayu nangka yang ia datangkan dari Jombang, serta kulit kambing betina. Sedangkan untuk bedug ia memilih kulit sapi betina. Konon, kulit api dan kambing betina memiliki kulaitas suara dan tingkat keaweatannya lama.
“Kualitas suara dan kualitas kekuatan. Awetnya tergantung pemakaian. Bisa tiga sampai empat tahun,” jelas dia.
Bahan kayu melalui proses pengeringan sampai pengecatan. Sedangkan kulit kambing hanya butuh perendaman dan pengeringan. Proses pengerjaan sekitar dua minggu, terlama di pengeringan bahan. Proses pengeringan dilakukan manual dengan sinar matahari. “Kulit direndam, terus dipasang, nanti ditarik saat dijemur. Kendala kalau dari segi produksi pada cuaca,” tegas Ali.
Sisa kulit kambing biasanya dimanfaatkan pengrajin lain untuk pembuatan suvenir jimbe atau kendang mini. Jika tidak bisa dimanfaatkan lagi, karena ukurannya terlalu kecil, dimanfaatkan untuk kerupuk rambak.
Ali mengaku dalam sebulan memproduksi antara 30 sampai 50 rebana atau menyesuaikan pesanan. Proses produksi barang dilakukan sebulan sebelumnya, seperti produksi Ramadan dijual Syawal atau setelahnya.
Menurutnya, siklus penjualan sebenarnya paling ramai saat Maulid, tetapi khusus Ramadan tahun ini stok sudah terjual di luar perkiraan. Sebelum Ramadan sudah banyak terjual di luar pesanan. “Karena kegiatan kan sepi, biasanya yang banyak itu cuma servis saja. Tapi tahun ini pesanan banyak dan servis juga banyak,” urainya.
Ali pun mengaku harus menambah karyawan dari sebelumnya dikerjakan dua orang menjadi 4 orang. Sementara itu, pembelinya terbanyak dari sekolah dan kelompok-kelompok pengajian di kampung-kampung. Mereka biasanya memesan satu set yang tinggal pakai.
Editor : Arif Ardliyanto