Ia masih ingat ketika masih SD samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya.
"Banyak (yang mengajarkan ilmu kekebalan terhadap senjata) salah satunya Nachrawi, ayah saya di Lawang itu juga sama saja. Jadi Peta itu kumpulnya di sana, waktu itu saya masih kecil SD ada samurai diam-diam melihat, masih kecil saya," papar pria berusia 87 tahun ini.
Namun selain di Singosari dan Lawang disebutnya ada beberapa daerah lainnya terutama di pondok - pondok pesantren yang memiliki tokoh - tokoh ulama mengajarkan hal serupa, ilmu kekebalan dengan memakan telur mentah.
"Nyebar dimana-mana, banyak memang yang ditokohkan yang mampu bisa nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini saja ada di tempat lain. Itu telur mentah bawa sendiri - sendiri, didoakan (sama kiai), dipecah, dimakan, jadi tanpa dimasak, namanya telur mentah. Setelah itu berangkat perang," jelasnya.
Memang beberapa dari mereka disebut Moensif, ada yang berhasil pulang dengan ilmu kekebalan yang dimiliki, tapi tak jarang ada yang gugur dalam medan pertempuran. Menurutnya hal itu juga dipengaruhi dari hati, amal, dan tingkah lakunya masing-masing. "Yang mati nggak pulang, yang masih hidup ya pulang orang, gitu saja," ucap dia.
Editor : Arif Ardliyanto