GRESIK, iNews.id - Pegiat lingkungan dari Community of Environment Sustainble (CO.ENSIS), mahasiswa Program studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Trunojoyo Madura, mengungkap bahwa sungai Brantas segmen Jombang hingga Gresik tercemar mikroplastik.
Salah satu peneliti, Elvina Indriani mengatakan pencemaran tersebut diketahui setelah para pegiat lingkungan
meneliti mikroplastik pada air, sedimen dan biota (ikan, udang, dan bivalvia) di sungai Brantas.
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Maret 2022 di 9 lokasi yaitu Ploso, Kawasan Industri Ploso, DAM Karet Menturus, Kesamben, Gedeg, Jembatan Gajah Mada, Perning, Legundi dan Driyorejo.
"Mikroplastik adalah plastik yang telah mengalami fragmentasi dan berukuran (mikroskopis) 5mm. Bentuk mikroplastik terdiri dari fiber yang bersumber dari limbah cucian pakaian atau laundry, serat tekstil, dan jaring alat penangkapan ikan," terangnya, Selasa (21/6/2022).
Filamen, lanjutnya bersumber dari kantong plastik, kemasan makanan ringan. Fragmen berasal dari fragmentasi plastik keras seperti botol minum, Foam bersumber dari styrofoam dan granul bersumber dari produk perawatan tubuh seperti butiran scrub.
Keberadaan mikroplastik di lingkungan disebabkan adanya tumpukan sampah plastik yang dalam jangka waktu lama akan terdegradasi.
Mikroplastik rentan dikonsumsi oleh makhluk hidup dan masuk dalam rantai makanan karena ukuran mikroplastik yang kecil serupa dengan ukuran larva organisme akuatik.
“Kami melakukan pemantauan kondisi Sungai Brantas segmen hilir dari Jombang hingga Gresik dengan mengamati kontaminasi mikroplastik, hasil penelitian kami menyatakan semua sampel yang di teliti yaitu air, sedimen dan biota Sungai Brantas mengandung mikroplastik dari tipe fiber, filamen dan fragmen,” ujar Elvina Indriani
Subakti, salah satu peneliti dari Komunitas Co.Ensis menjelaskan, tumpukan sampah plastik banyak ditemukan di sepanjang bantaran Sungai Brantas.
Termasuk plastik sekali pakai seperti kemasan sachet, kantong kresek, botol plastik, styrofoam, dan sedotan yang kemudian akan terdegradasi menjadi serpihan plastik berukuran kecil.
"Mikroplastik bersifat persisten di lingkungan, mengandung bahan kimia toksik dan bersifat karsinogenik," kata dia.
Sifat mikroplastik yang hidrofobik menjadikan mikroplastik mudah mengabsorb senyawa organik beracun seperti polycylic aromatic hydrocarbons (PAHs), polychclorinated biphenis (PCBs) dan dichloro diethyl trichloroethane (DDT).
Selain itu komposisi pembuatan plastik menggunakan zat aditif seperti bisphenol A, pthalat, styren, dan sebagainya.
Kandungan tersebut menyebabkan keberadaan mikroplastik di lingkungan mampu mencemari perairan, meracuni biota perairan, dan merusak keseimbangan ekosistem.
"Dampaknya terhadap kesehatan manusia, ketika mikroplastik telah masuk dalam rantai makanan, karena dapat menyebabkan gangguan hormon bahkan menganggu sistem reproduksi karena terdapat senyawa berbahaya dalam plastik yang biasa di sebut Endocrine disrupting chemicals (EDC)," papar Subakti.
Salah satu peneliti CO.Ensis Ananta Putra Karsa mengungkapkan, hasil penelitian ditemukan mikroplastik pada air, sedimen dan biota dengan jumlah total 7540 partikel.
Rata-rata kelimpahan mikroplastik pada air permukaan sebesar 207 partikel/100L, pada kolom perairan sebesar 314 partikel/100 L.
"Sedangkan pada sedimen rata-rata kelimpahannya 83 partikel/50 gram, dan tipe mikroplastik yang mendominasi adalah fiber yang umumnya bersumber dari serat tekstil," ungkapnya.
Selain pada air dan sedimen, kontaminasi mikroplastik juga telah ada pada Biota sungai Brantas yaitu ikan (bader, wader, muraganting, belida, palung, dan mujair)crustacea (udang) dan bivalvia (kerang).
Dengan rata-rata kelimpahan 159 partikel/ekor pada ikan, Crustacea (udang) dengan rata-rata kelimpahan 15 partikel/ekor dan pada Bivalvia (kerang) sebanyak 23 partikel/ekor. Bentuk mikroplastik yang ditemukan yaitu fiber, filamen dan fragmen
Salah satu faktor yang menyebabkan adanya pencemaran mikroplastik adalah timbunan sampah plastik yang berada di bantaran sungai dan badan air sungai.
Selain itu kurangnya fasilitas tempat pembuangan dan pengangkutan sampah oleh pemerintah setempat. Sehingga sampah-sampah plastik yang dapat masuk ke Sungai Brantas akan terdegradasi menjadi serpihan mikroplastik.
Para pegiat lingkungan ini menuturkan, untuk banyaknya pencemaran mikroplastik di perairan termasuk sungai, kama perlu adanya kesadaran masyarakat untuk menggurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai.
Kemudian penyediaan layanan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai oleh pemerintah. Jua perlunya kebijakan EPR (Extended producer responsibility) atau tanggug jawab produsen terhadap pengendalian sampah plastik yang diproduksi.
Dari temuan hasil penelitian, komunitas Co.ensis khawatir terkait dampak mikroplastik pada lingkungan dan biota di Sungai Brantas.
Untuk itu, mereka mendesak pada BBWS Sungai Brantas untuk melakukan pencegahan dan pengawasan kerusakan kualitas air sungai dengan melakukan upaya pembersihan sungai.
DLH Jawa Timur diminta menyediakan papan larangan membuang sampah ke sungai dan menambah fasilitas pembuangan sampah.
Untuk produsen penghasil plastik, agar bertanggung jawab menarik kembali atas sampah produksinya. Sedangkan masyarakat supaya memilah sampah menjadi tiga yakni, sampah residu dibuang di TPA, sampah daur ulang dikumpulkan di Bank Sampah, dan sampah organik dimanfaatkan sebagai pupuk.
Selanjutnya mengajak masyarakat untuk tolak produk sachetan dan kembali menggunakan produk curah tanpa kemasan, serta mengembangkan usaha refill produk rumah tangga menggunakan kemasan lama yang dapat diisi ulang.
Mereka juga menolak solusi palsu penanganan sachet yang menambah pencemaran mikriplastik ke lingkungan seperti mengolah sampah sachet menjadi campuran batu bata, aspal, dan ecobrick.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait