JAKARTA, iNewsSurabaya.id - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, saat ini bangsa Indonesia telah menapakan kaki pada kuartal keempat menuju usia satu abad kemerdekaan. Dalam kurun waktu 23 tahun ke depan, bangsa Indonesia akan memasuki Indonesia Emas 2045.
Salah satu pilar yang ingin diwujudkan, sebagaimana digagas Presiden Jokowi, adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia.
"Artinya, sektor pendidikan menjadi faktor penting dan fundamental," katanya dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, di Komplek MPR RI, Jakarta, Rabu (21/9/22).
Kata Bamsoet, selaras dengan semboyan IPM sekaligus keluarga besar Muhammadiyah yang menjadikan pendidikan sebagai prioritas, sebagaimana tertera pada logo organisasi IPM, yaitu Nun wal qolami wama yasturun yang bermakna 'demi pena dan apa yang dituliskannya'.
"Untuk mewujudkan visi Indonesia Emas tersebut, harus dimulai dengan adanya perencanaan pembangunan yang matang dan berkesinambungan yang kini sedang disiapkan oleh MPR RI dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN)," tegasnya.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, bangsa Indonesia mempunyai sumber daya potensial untuk tumbuh dan berkembang dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
Salah satunya yakni bonus demografi, dimana komposisi demografi didominasi oleh penduduk usia produktif.
Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 mencapai 319 juta jiwa, sekitar 70 persen atau sebanyak 223 juta jiwa adalah kelompok usia produktif. Jika tidak dikelola dengan baik, bonus demografi tersebut malah akan menjadi bencana demografi.
Sebagaimana dialami Brazil yang gagal memanfaatkan bonus demografi karena keterpurukan ekonomi, serta terabaikannya kualitas pendidikan, infrastruktur dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Bamsoet menyebut, Afrika Selatan gagal memanfaatkan bonus demografi disebabkan kurangnya perhatian pada kualitas pendidikan dan rendahnya tingkat pertumbuhan lapangan pekerjaan.
"Tidak ada salahnya kita belajar dari Korea Selatan yang berhasil memanfaatkan bonus demografi untuk mengarahkan industri rumah tangganya membuat komponen handphone," tuturnya.
"Tiongkok dengan cara mengarahkan industri rumahan memproduksi komponen elektronik. Jepang berhasil mengoptimalkan kinerja penduduk usia produktif sehingga tingkat penganggurannya sangat kecil, kurang dari 3 persen," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, dalam konteks pemajuan pendidikan nasional, sejak APBN tahun anggaran 2009, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, sebagaimana amanat Konstitusi.
Di satu sisi, alokasi anggaran tersebut berhasil meningkatkan akses pendidikan bagi rakyat.
Berdasarkan data Organisation for Economic Co-operation and Development, pada tahun 2000 penduduk usia 15 tahun yang bersekolah pada jenjang SMP atau SMA hanya sebesar 39 persen. Pada tahun 2018 meningkat pesat menjadi 85 persen.
Di sisi lain, dari aspek kualitas pendidikan, hasilnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Salah satunya tergambar pada hasil survei yang dilakukan CEOWorld tahun 2020, mengenai kualitas pendidikan di berbagai negara, dimana Indonesia hanya menduduki peringkat ke-70 dari 93 negara yang disurvei.
Penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, untuk kompetensi membaca, Indonesia menempati peringkat ke-74 atau 6 terbawah dengan nilai 371 di bawah rata-rata global sebesar 487.
Sedangkan untuk nilai matematika, Indonesia meraih nilai 379, juga di bawah nilai rata-rata global sebesar 487, dan menempati peringkat ke-73 atau 7 terbawah.
"Yang cukup memprihatinkan, bahwa kemampuan membaca, berhitung, dan sains pelajar Indonesia dalam penilaian PISA cenderung stagnan sejak tahun 2000. Menunjukan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan menuju Indonesia Emas 2045," pungkas Bamsoet.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait