Dalam pembuatan kebijakan perlunya beberapa proses yang panjang, melatar belakangi kasus yang merebak, hingga melewati proses tarik ulur politik hukum sampai resminya sebuah aturan kebijakan.
Ia menegaskan, dalam kalangan sivitas akademika kasus kekerasan seksual menjadi perhatian yang penting. Biasanya dalam kasus tersebut bisa terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa. Relasi yang timpang itu lingkupnya luas, pelaku punya andil kuasa yang lebih tinggi dan memberikan sebuah ancaman kepada korban.
Ada juga kasus kekerasan seksual yang terjadi pada internal kampus, dari pihak kampus pun menutupi kasus tersebut demi menjaga image kampus dengan bertopeng dibalik kata menyelesaikan dengan cara kekeluargaan. Itulah problema yang mengakibatkan tidak berpihaknya pada si korban.
Ditambah polemik komentar masyarakat Indonesia dengan diksi kata menatap, meyakini hal tersebut dipandang sepele. Menatap disini perlu digaris bawahi, yaitu menatap seseorang dengan nuansa seksual dan menimbulkan rasa risih.
“Dampak yang ditimbulkan dari korban pun juga bukan perkara yang mudah. Banyak dari korban menarik diri dari lingkungan sosialnya, hingga terganggu psikis korban dalam menjalani aktivitas sehari-hari,” ungkapnya.
Dalam komentarnya ia menyebutkan, kasus seperti itu jangan hanya berpihak pada pelaku saja. Namun, juga perlu memperhatikan sisi dampak pada korban.
Solusi rehabilitasi dilakukan keduanya, pelaku lebih aware dalam bentuk pelecehan seksual dan rehabilitasi bagi korban untuk memulihkan keadaan normal kembali.
Dari sini, sosialisasi dan kampanye informatif bentuk pelecehan seksual harus terus dilakukan. Menjadi harapan juga Satgas PPKS lebih responsif dalam penanganan kasus tersebut.
“Semoga kedepan peraturan baru dari Kemenag bisa diterapkan secara efektif di lingkungan pendidikan agama, di lain sisi Permendikbud Ristek juga harus kita dukung dan apresiasi secara Nasional,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait