JAKARTA, iNews.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencegahan dini untuk memberantas korupsi. Mereka menilai, keberadaan joki skripsi, tesis, maupun disertasi merupakan bentuk korupsi.
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Wawan Wardiana mengatakan, saat ini marak fenomena pembuatan karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi oleh pihak ketiga atau joki. Menurut Wawan, fenomena 'joki skripsi' tersebut mudah ditemui di mesin pencarian google.
Wawan mengingatkan kepada para mahasiswa agar tidak menggunakan joki atau pihak ketiga untuk mendapatkan gelar pendidikan. Sebab tanpa disadari, kata Wawan, fenomena joki skripsi merupakan bibit-bibit perilaku tindak pidana korupsi. Mahasiswa dianggap telah berbohong atas gelarnya ketika menggunakan jasa joki skripsi.
"Dengan menggunakan joki, mahasiswa sudah melakukan kebohongan dan tidak jujur atas apa yang diperbuat. Sekarang yang terjadi enggak usah capek sekolah, karena dapat gelar gampang (dengan jasa joki)," kata Wawan saat menghadiri acara Sosialisasi Deteksi Dini Pencegahan Korupsi di Lingkungan Pendidikan Tinggi yang digelar di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Jumat (11/11/2022).
Menurut Wawan, karya akademis seharusnya dibuat sebagai tolok ukur pemahaman mahasiswa atas ilmu yang ditimba di ruang perkuliahan. Tapi, hal itu sia-sia ketika karya akademisnya harus dikerjakan oleh pihak ketiga. "Kini tidak lagi dianggap menjadi hal krusial yang harus dikerjakan sendiri,," ungkapnya.
Wawan berpandangan bibit korupsi dalam dunia pendidikan kian masif dan terstruktur. Tak sedikit kasus yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Bahkan, dalam beberapa kasus yang ditangani, KPK menemukan adanya kelemahan sistem yang kemudian rawan menjadi celah korupsi.
"Misalnya, kasus penerimaan mahasiswa baru mandiri -tanpa mekanisme dan aturan yang jelas- membuat salah seorang rektor terseret dalam kasus korupsi," bebernya.
Selain kasus dugaan suap yang menjerat Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani, KPK juga pernah menangani perkara yang melibatkan lima orang mahasiswa melakukan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) sebesar Rp350,5 juta.
"Hal ini menunjukkan bagaimana korupsi tidak hanya menyasar para petinggi di negeri ini saja melainkan sudah masuk ke lingkungan pendidikan yang seyogianya merupakan zona integritas," katanya.
Melihat fakta ini, Wawan mengaku prihatin. Ia mengajak seluruh civitas akademika, khususnya Universitas Tanjungpura, untuk mengembalikan marwah dunia pendidikan tinggi ke tempat yang seharusnya.
"Tempat di mana setiap anak-anak muda yang merupakan generasi penerus bangsabmenimba ilmu dan kelak akan diaplikasikan untuk membawa Indonesia ke arah kejayaan," harap Wawan.
Oleh karena itu, sebagai langkah kecil dalam menciptakan budaya antikorupsi, Wawan meminta seluruh civitas akademika Universitas Tanjungpura untuk menerapkan sembilan nilai antikorupsi. Yakni jujur, disiplin, bertanggung jawab, adil, berani, peduli, pekerja keras, mandiri, dan sederhana.
Dengan menerapkan hal di atas, Wawan meyakini mahasiswa tidak akan melakukan tindakan yang masuk ke dalam bibit korupsi. Seperti halnya mencontek, titip absen, terlambat, plagiat, proposal palsu, gratifikasi ke dosen, mark up uang buku, dan penyalahgunaan dana beasiswa.
"Kalau hal ini dibiarkan dalam kehidupan sehari-hari tentu akan berkembang menjadi suap dan gratifikasi di masa depan. Dua kasus itu memiliki presentase 80% dari kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK," ujar Wawan.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait