“Papaku juga lembut. Papa gak malu bawain tasku kalo pergi ke mall bareng; papa mau masakin aku indomie kuah tiap nyeri menstruasi menyerang; papa mau ambilin handuk tiap aku selesai mandi. Pokoknya papa gak kayak papa yang lain. Papa beneran orang tua yang ideal”
Kutipan di atas adalah sepenggal dari pesan WA anak gadis saya tadi malam dalam rangka _Fathers Day_ (Hari Ayah). Paginya saya mendapat hadiah ciuman di pipi kanan. Sungguh bahagia saya bisa menjadi ayah yang dekat dengan anak-anak gadisnya. Jika saya dikatakan seorang “papa lembut dan orang tua ideal”, saya sebetulnya selama ini hanya mengikuti dorongan hati untuk bagaimana harus memperlakukan anak-anak gadis saya.
Tak mudah menjadi seorang ayah. Tak ada pendidikan yang secara khusus dibuka untuk mendidik seorang laki-laki agar memiliki pengetahuan dan keterampilan menjadi seorang ayah. Berbagai pelatihan _parenting_ hampir selalu ditujukan bagi ibu-ibu. Nasihat orang-orang tua tentang kepengasuhan anak hanya diberikan kepada para calon ibu. Para lelaki nyaris sepenuhnya tersingkir dari proses penyiapan ini.
Ketika seorang laki-laki memasuki dunia pernikahan, pesan yang diterima selalu tentang bagaimana bekerja untuk memberi makan istri. Ketika si istri mulai mengandung, hampir bisa dipastikan seorang suami sepenuhnya buta tentang apa yang harus dilakukan kepada calon anaknya, sekalipun hanya urusan menggendong bayi.
Dalam dunia patriarkal, bukan hanya perempuan yang menjadi korban, laki-laki juga menjadi korban penyingkiran dari peran-peran pengasuhan kepada anak. Ketika ada seorang ayah yang menemani anak gadisnya berbelanja kebutuhan khas anak-anak perempuan, orang-orang memandangnya aneh. Atau, jika ada seorang ayah yang terlibat dalam permainan putri kecilnya, orang akan menyanjungnya sebagai ayah hebat. Baik pandangan aneh maupun sanjungan sesungguhnya keluar dari ideologi penyingkiran laki-laki dari pengasuhan terhadap anak-anaknya.
Saya adalah ayah dari dua remaja putri. Sejak keduanya kecil hingga kini, saya memiliki kedekatan dengan mereka. Sama sekali bukan karena didikan atau kritikan dari para feminis. Ini adalah panggilan alami seorang ayah kepada anak-anaknya. Tatapan aneh atau sanjungan berlebihan yang dialamatkan ke saya ketika menemani anak-anak bermain atau belanja itu terasa sangat mengganggu.
Saya merasa sangat risih ketika semua ibu-ibu di "kereta kelinci" yang sedang menemani anaknya melihat saya menemani Virginia kecil menunggu "kereta kelinci" di pinggir jalan dan naik ke atasnya. Mengapa mereka memandang saya aneh? Saya merasa sangat terganggu dengan sanjungan berlebihan ketika saya ikut bermain anak gadis kecil saya atau membelikan pembalut anak gadis remaja saya. Ini hanyalah sesuatu yang seharusnya dilakukan seorang ayah sebagaimana juga bisa dilakukan seorang ibu. Mengapa mereka keterlaluan menyanjung saya. Mengapa?
Selama ini saya hanya meraba-raba bagaimana cara menjadi ayah yang baik di depan anak-anak. Saya hanya membekali diri dengan bacaan-bacaan “tips menjadi ayah” atau meneladani ayah-ayah tertentu yang menjadi pujaan anak-anaknya. Saya menggendong anak-anak saya saat bayi; memandikannya; mengganti pakaiannya; menemaninya bermain; menyeterika seragam sekolahnya, mengantarnya ke sekolah; mengantarnya tidur sambil mengarang dongeng setiap malam. Di saat yang sama, saya menjalankan profesi saya seprofesional mungkin. Saya berharap, jika kelak mereka besar, mereka akan bangga memiliki seorang ayah dengan karir profesional yang baik.
Suatu hari, Virginia yang kini beranjak remaja berkata ke saya, _“Pa, don’t be too successful. It’s hard for me to be your daughter. Being your daughter is a big burden.”_ (Pa, jangan terlalu sukses. Berat bagiku menjadi anaknya papa. Menjadi anaknya papa itu adalah beban yang berat).
Saya terdiam. Saya teringat film Rocky yang dibintangi Sylvester Stallone. Di salah satu _scene_-nya, film yang bercerita tentang sosok petinju Rocky Balboa ini memperlihatkan adegan putranya yang memprotesnya agar tidak melanjutkan pertarungan. Dengan nada tinggi, sang putra berkata, _“Livin’ with you, it hasn’t be easy. People see me but they think of you”_ (Hidup denganmu tidak pernah mudah. Orang-orang melihatku, tapi mereka memikirkanmu).
Kepada anak gadis saya, saya ingin seperti Rocky yang berapi-api menasehati putranya: _“The world ain’t all sunshine and rainbows. It’s a very mean and nasty place. And I don’t care how tough you are, it will beat you to your knees and keep you there permanently if you let it. You, me, or nobody is gonna hit as hard as life. But it ain’t about how hard you hit. It’s about how hard you can get hit and keep movin’ forward. How much you can take and keep movin’ forward. That’s how winner is done.”_
(Dunia tidak selalu berupa hangatnya matahari pagi dan indahnya pelangi. Dunia juga bisa menjadi tempat yang sangat kejam dan jahat. Tidak peduli seberapa kuat kamu, dia akan memukulmu hingga roboh dan akan terus menjatuhkanmu jika kamu membiarkannya. Kita semua akan dipukul kehidupan sekuatnya. Tapi ini bukan tentang seberapa kuat pukulan hidup mengenaimu. Ini tentang seberapa kuat kita menerima pukulan dan terus bergerak maju. Inilah yang dilakukan oleh seorang juara)
Saya tahu bahwa kalimat-kalimat Rocky ke anaknya itu sangat _inspiring_. Tapi saya memilih lirik lagunya Chainsmoker & Coldplay, _“Something Just Like This”_. Biarlah anak saya yang bersuara dan saya yang mendengarkannya. Karena yang paling penting adalah mendengar apa yang dipikirkan anak-anak kita.
_“She said, ‘Where do you wanna go? How much you wanna risk? I’m not looking for somebody with superhuman gift, some superhero, some fairytale bliss. Just something I can turn to; Somebody I can kiss. I want something just like this.”_ (Dia mengatakan, “Ke mana papa akan melangkah? Seberapa keras papa akan mengambil risiko? Aku tidak menginginkan seorang papa dengan karunia seperti superhero atau berharap kemewahan seperti dalam kisah para peri. Aku hanya menginginkan seorang papa yang ada saat aku membutuhkan, yang aku bisa menciumnya saat kangen. Hany ini yang aku inginkan).
Sebagai seorang ayah yang baru belajar saat sudah punya anak, dan itu pun otodidak, saya pasti tidak seideal yang diinginkan anak-anak. Saya sadar betapa sulitnya menjadi seorang ayah. Ketika kita bukan siapa-siapa, kita akan dicemooh sebagai ayah yang gagal. Ketika kita memiliki karir cemerlang, tanpa disadari itu pun bisa menjadi beban bagi anak-anak.
Tapi, pada akhirnya, menurut saya, menjadi seorang ayah bukan tentang seberapa tinggi karir seseorang, tapi apakah kita ada saat anak-anak membutuhkan. Dunia bisa menjadi tempat yang kejam dan berbahaya bagi anak-anak. Saat mereka lelah dan menangis di luar rumah, mereka hanya memerlukan bahu ayahnya untuk bersandar, pelukan ayahnya untuk menghangatkan hatinya yang mungkin sedang kedinginan. Kecupan sayang seorang ayah akan mengubah dunia kelamnya menjadi matahari pagi dan pelangi.
Kepada seluruh laki-laki yang menjadi ayah, _“Happy Fathers Day”!_
PENULIS
Prof Ahmad Zainul Hamdi
Guru Besar UINSA Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait