DENPASAR, iNewsSurabaya.id - Undang-Undang Energi mengamanatkan pemerintah untuk memberikan BBM bersubsidi bagi masyarakat tidak mampu atau miskin. Namun berdasarkan data Kementerian Keuangan, ternyata 80 persen pengguna bantuan energi ini masih dinikmati kalangan mampu dan kaya.
Kordinator Program Studi Kewirausahaan Universitas Mahendradatta, Anak Agung Elik Astari mengatakan, untuk itu perlu dilakukan pembatasan yang jelas mengenai siapa yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi, terutama untuk Pertalite. Sebab, sampai saat ini masih belum ada aturan tegas yang mengkriteriakan siapa yang berhak menggunakan BBM RON 90 itu.
Sampai saat ini, pemerintah masih menggodog revisi Peraturan Presiden (Perpres) 191 tahun 2014 yang mengatur distribusi BBM bersubsidi. Sayang, aturan itu masih belum juga diterbitkan.
Elik Astari menjelaskan, penerapan keberadilan dalam distribusi BBM bersubsidi bukan perkara mudah. Ketersediaan energi fosil yang terus berkurang harus menjadi pertimbangan untuk melakukan pembatasan. Sesuai aturan yang ada, maka kalangan tidak mampu dan miskin menjadi prioritas.
"Kenapa BBM itu ada batasannya? Ada peruntukannya untuk siapa? Sesuai sila ke-5 Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan Pasal 33 UUD 1945 berbunyi 'bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh pemerintah dan dinikmati sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat'," kata Elik Astari dalam Pipamas Energy Talk bertajuk BBM Pertalite untuk Siapa?' di Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali, Selasa 6 Desember 2022.
Pendistribusian BBM bersubsidi seharusnya diprioritaskan untuk kawasan tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Untuk itu harus dibangun kesadaran masyarakat, bahwa kebutuhan energi bukan hanya milik mereka yang tinggal di kota. Karena itu Pertamina terus berupaya meningkatkan jangkauan distribusi BBM ke daerah terpencil.
"Yang kaya seharusnya memberikan jatah BBM mereka yang mahal kepada mereka yang lebih membutuhkan (subsidi silang), jatah pembelian Pertamax yang lebih mahal selisihnya dari pada Pertalite anggap saja sumbangan," ujar Elik.
Untuk itu, ia mendukung upaya pemerintah untuk melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Tentunya dengan menerbitkan aturan yang jelas, agar masyarakat dapat memahami tujuan dan rencana pemerintah dalam memeratakan bantuan energi kepada seluruh Rakyat Indonesia.
"Dengan semakin menipisnya stok BBM bersubsidi, maka kita akan memberikan pembatasan, berkeadilan, memberikan filter pada subyeknya. Untuk menciptakan keadilan, kita harus memahami personal integrity masing-masing," ujarnya.
Untuk mendukung rencana pembatasan BBM bersubsidi, pemerintah harus detail dalam menerapkan klasifikasi penggunanya. Sementara dalam Perpres Nomor 194 tahun 2014, belum dijelaskan tentang siapa yang berhak membeli Pertalite. Akibatnya, semua kalangan masih bisa mengonsumsinya.
"Jadi pasti mengenai aturan yang mengatur, pasti mengenai kedudukan subjek dan subjek hukum, agar terhindar dari kesewenang-wenangan," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta, I Nyoman Suandika.
Untuk mencapai kepastian hukum, kata Suandika, perlu ada regulasi atau aturan tentang kriteria subjek hukum yang boleh menggunakan Pertalite. Subjek hukum bukan hanya orang perorangan, tetapi juga termasuk badan hukum.
"Di lapangan, Pertalite ini sering kali tidak tepat sasaran. Bapak Ibu bisa cek di lapangan, kalau ada pengecer yang membeli bensin menggunakan jeriken di pom bensin. Silakan bapak ibu buktikan sendiri," ujarnya.
Pengecer ilegal membuat masyarakat dirugikan. Karena harga yang didapatkan masyarakat bukan merupakan ketetapan pemerintah. Untuk itu, harus ada tindakan hukum agar perlindungan bisa diberikan hingga lapisan masyarakat paling bawah.
"Untuk melindungi konsumen di tingkat bawah, perlu dibuatkan suatu regulasi. Karena selama ini regulasi hanya sampai pada SPBU. Kalau sampai tingkat bawah, khususnya penjualan Pertalite, belum ada. Sehingga orang yang berada di desa, yang jauh dengan SPBU, menerima akibatnya," kata Suandika.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait