Fauzi menuturkan, dalam aturan baru itu disebutkan bahwa kabupaten Sumenep hanya mendapat 0,5 persen dari DBH Migas yang diberikan pemerintah pusat. Jumlah itu jauh dibawah provinsi Jatim yang memperoleh DBH 10 persen, dan daerah pengelola yang dapat 2 persen.
"Kalau eksplorasinya jarak 4 sampai 12 mil itu itungannya 19,5 dibagi 37 kabupaten. Karena rata-rata eksplorasi Migas di Sumenep di wilayah itu, jadi kita hanya dapat 0,5 persen. Dan 1 persen untuk daerah pengelola. Kita walaupun daerah penghasil ya 19,5 dibagi 37 dan provinsi dapat 10 persen. Menurut saya skema proporsi dari aturan ini masih kurang berpihak," tambah politisi PDI Perjuangan itu.
Dikatakan Fauzi, idealnya, jumlah DBH Migas yang diperoleh kabupaten Sumenep adalah 6 persen. Besaran prosentase itu dinilai cukup imbang, karena dalam UU No. 1 tahun 2022 disebutkan bahwa DBH Migas yang dibagikan pemerintah ke daerah penghasil, pada eksplorasi dibawah 4 mil mencapai 13 persen.
Jumlah itu dirasa adil karena akan berdampak sistemik bagi masyarakat, sehingga bisa mengurangi angka kemiskinan di wilayah Madura.
"Paling tidak daerah penghasil kan dapat 6 persen kan itu masih lumayan. Tapi semuanya saya serahkan kepada pemerintah pusat. Tapi kan pemerintah daerah sama keinginannya. Kita boleh dong menyampaikan aspirasi ini ke pemerintah pusat. Revisi UU itu belum berdampak sistemik bagi daerah," tambah bupati yang gemar memakai blangkon itu.
Di Pulau Madura sendiri, kata Fauzi, saat ini ada 3 perusahaan eksplorasi yang beroperasi. Yakni Kangean Energi Indonesia Ltd (KEI), Husky CNOOC Madura Limited (HCML), dan Medco Energi Internasional Tbk.
PT Energi Mineral Langgeng (EML) juga sedang berjuang untuk bisa memproduksi dengan melakukan pengeboran sumur eksploitasi ENC-02 di Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait