Menurut Boyamin, sejak awal kasus mencuat, sudah ada dugaan bahwa kerja sama antara perusahaan Hendri Sutio (yang mendapat IUP dari Bupati Mardani) dengan perusahaan yang terafiliasi Mardani hanya kamuflase, di mana Mardani memberi IUP kepada Hendri dengan imbalan yang dikamuflase seolah ada kerja sama antara dua perusahaan.
“Jadi kalau bahasa sederhananya, diduga seperti ini lho ya, bagian dari kickback. Kalau diluaran disebut jatah preman, karena dia (Mardani) yang punya kewenangan untuk mengalihkan, maka dia mendapat bagian. Tanda kutipnya kan seperti itu, sehingga hakim juga memahaminya sebagai sebuah perbuatan korupsi,” paparnya.
Oleh sebab itu, vonis hakim 10 tahun menjadi wajar karena adanya konflik kepentingan atau conflict of interest yang dilakukan Bupati Tanah Bumbu saat itu.
“Dan ketika oleh hakim ini divonis bersalah, berarti kan menurut hakim juga kamuflase. Itu yang tidak dipahami oleh Pak Maming,” katanya.
Menurut MAKI, pelajaran utama yang bisa dipetik dari vonis atas Mardani H Maming, siapapun yang menjadi pejabat agar menghindari konflik kepentingan dengan tidak mencampuradukkan antara kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya dengan kepentingan kekuasaan.
Contoh dalam kasus Mardani, boleh-boleh saja (pejabat) memindahkan izin tambang, memberikan izin tambang, mencabut izin tambang, tapi dengan ukuran yang jelas dan tidak ada maksud tersembunyi untuk mendapatkan sesuatu.
“Jadi menghindarkan diri dari keinginan keinginan pribadi dalam mengambil kebijakan,” kata Boyamin.
Sayangnya, lanjut Boyamin, masih sangat banyak pejabat kita yang tidak paham akan hal itu.
“Masih dianggap biasa-biasa saja kalau memberikan sesuatu ke level birokrasi, yang seakan-akan memang berhak mendapatkan upah. Padahalkan dia (pejabat) ditugaskan, digaji negara untuk menjalankan wewenang itu secara adil,” paparnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait