Mengenang Pengeboman Gereja Malam Natal Tahun 2000 di Jawa Timur dan Alasan Tidak Memilih Surabaya

Oktavianto Prasongko
Suasana pasca bom meledak di Gereja Pantekosta Pusat, Jl. Arjuna Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018). (Foto: Ali Masduki)

SURABAYA, iNews.id - Sebelum kita mengenang peristiwa serangan bom pada malam Natal tahun 2000. Masih teringat di ingatan kita begitu keji dan tidak berperikemanusiaan tindakan teroris melakukan bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya, Jawa Timur, pada pagi hari tanggal 13 Mei 2018. 

Korban tewas 14 orang, 6 diantaranya pelaku 1 keluarga dan 43 orang luka-luka. Pada malam harinya, sebuah bom meledak di lantai 5 Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur. 

Pelakunya 1 keluarga, 3 tewas dan 3 terluka. Pagi harinya tanggal 14 Mei 2018, bom bunuh diri terjadi lagi di Polrestabes Surabaya.

Mengenang peristiwa serangan bom pada malam Natal tahun 2000. Saat itu teroris Jamaah Islamiyah meledakkan bom di 15 gereja sdi 11 kota Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Ciamis, Mojokerto, Mataram, Pematang Siantar, Medan, Batam dan Pekanbaru. Total 20 orang tewas dan 120 orang terluka.

Sedangkan di Jawa Timur sasaran pengeboman adalah gereja di Mojokerto. Pelaku pengeboman, Ali Imron, mengatakan alasan mengebom gereja untuk membalas penyerangan terhadap umat Islam di Ambon dan Poso. Dia dan Amrozi bertemu dengan Hambali. Coordinator serangan daerah Jawa, di sebuah hotel di Surabaya. 

Hambali mengatakan, jika orang-orang Kristen di Ambon bisa menyerang umat Islam pada Hari Raya Idul Fitri, mengapa tidak menyerang pada hari raya mereka yaitu Natal.

“Oleh karena itu kita akan memulai jihad untuk membalas mereka dengan melakukan pengeboman terhadap gereja-gereja di malam Natal,” kata Ali Imron.

Hambali menyerahkan pengeboman di Jawa Timur kepada Amrozi dan Ali Imron. Dia menanggung pembiayaannya. Menurut Ken Conboy, dalam Intel II: Medan Tempur Kedua, Hambali memperkirakan biaya untuk serangan Natal mencapai US$50.000 untuk transportasi, rumah aman, bahan-bahan peledak dan masing-masing pelaku.

Uang itu berhasil diperoleh dari Masran bin Arshad, anggota Jamaah Islamiyah asal Malaysia, yang baru pulang dari Pakistan membawa sumbangan dari Al-Qaeda. Yazid bin Sufaat, anggota Jamaah Islamiyah asal Malaysia juga menyerahkan US$10.000 dari uang pribadinya. 

Sisanya diperoleh dari dari anggota Jamaah Islamiyah Mantiqi 1 cabang regional yang mencakup Malaysia dan Singapura. Matiqi 1 menginginkan serangan malam Natal dilakukan di 11 kota.

“Sebagai coordinator daerah Jawa, Hambali menyediakan uang dan memilih pemimpin di setiap kota sasaran,” tulis Conboy.

Para pemimpin diberi kebebasan memilih jenis bom, beberapa orang memilih bom waktu sederhana, yang lainnya memilih peledak lebih canggih yang dipicu oleh telepon. Ukuran bom bervariasi antara 3 hingg 14 kilogram.

Hambali bertanya kepada Amrozi dan Ali Imron kira-kira gereja mana saja di Jawa Timur yang akan dijadikan sasaran bom. Mereka mengisyaratkan sasaran bom adalah gereja-gereja di Mojokerto. 

“Alasan kami saat itu karena Mojokerto kota kecil tetapi banyak gerejanya. Kami tidak memilih gereja-gereja di Surabaya karena kami khawatir jangan-jangan setelah pengeboman nanti kami kesulitan membeli pupuk dan bahan-bahan bom lainnya di toko-toko kimia di Surabaya,” kata Ali Imron.

Ken Conboy menambahkan, sejak Jamaah Islamiyah mengirimkan anggotanya ke Ambon pada awal tahun 2000, Amrozi telah mengumpulkan bahan-bahan kimia untuk digunakan di Maluku. Dia membelinya di Toko Tidar Kimia, Surabaya. 

Karena pada waktu itu komponen yang dia cari tidak berbahaya, comtohnya potasium klorat yang merupakan pupuk sehingga pembeliannya tidak menimbulkan kecurigaan.

Amrozi dan Ali Imron sempat mensurvei gereja di Jombang, Bojonegoro dan Tuban. Namun mereka akhirnya menetapkan 3 gereja di Mojokerto. Pelaksana untuk pengeboman adalah Ali Imron, Mubarok, Sawad, Salman dan Muhajir. Amrozi pada saat itu tidak ikut karena sakit.

“Saya dan Mubarok mulai mencampur bubuk pupuk, belerang dan aluminium. Setelah dicampur maka jadilah bubuk peledak seberat 15 kilogram yang biasanya kami sebut black powder. Kemudian kami berdua mulai membuat Bom Kado dan Bom Tas,” kata Ali Imron.

Selanjutnya Ali Imron dan Sawad membawa bom ke Gereja Pantekosta Allah Baik, Salman membawa bom ke Gereja Santo Yosef, Muhajir dan Mubarok membawa bom ke Gereja Eben Haezar.

“Rencana kami meledakkan gereja-gereja di Mojokerto sudah tercapai dan berhasil,” kata Ali Imron. Ledakan itu menewaskan 2 orang dan 5 luka parah. Salah satu korban meninggal adalah Riyanto, anggota Banser NU yang berjaga di Gereja Eben Haezar.

Ali Imron ditangkap setelah ditangkap setelah terlibat dalam Bom Bali I pada tahun 2002. Dia terhindar dari hukuman mati dan dihukum penjara seumur hidup karena mengaku salah, menyesal dan meminta maaf kepada semua orang terutama korban dan keluarganya, serta bersedia bekerja sama dengan Polri.

Pada serangan bom Natal tahun 2000, teroris Jamaah Islamiyah tidak memilih sasaran gereja di Surabaya tetapi di Mojokerto. Akan tetapi 18 tahun kemudian yaitu pada tahun 2018 terjadi pengeboman di Surabaya dengan sasaran 3 gereja yang diketahui pelakunya adalah teroris Jamaah Ansharut Daulah/ Jamma Ansharut Tauhid yang mendukung Gerakan Negara Islam Irak dan Suriah atau yang lebih dikenal dengan istilah ISIS.

(Penulis :  Oktavianto Prasongko)

Editor : Ali Masduki

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network