SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan, KH Abdullah Munif Marzuqi telah wafat. Sosoknya begitu dikagumi banyak orang, tak jarang Pondok yang berada di wilayah Tuban ini menjadi jujukan pimpinan maupun masyarakat biasa dalam memutuskan sesuatu.
Pertimbangan Kiai ini jadi jujukan karena beliau terkenal dengan sikap tawadhu. Bahkan sikap tawadhu sering dipergunakan dan diajarkan dalam setiap pidato yang dilakukan.
Berikut Pidato Keren sang Kiai dikutip dari Majalah Langitan :
Manusia itu terdiri atas jasmani dan ruhani, yang harus dipenuhi kebutuhannya dan dipelihara stabilitasnya secara seimbang. Kita sering mengisi dan mengasah otak kita dengan ilmu pengetahuan, tapi kita melupakan ruhani kita dengan siraman ruhani (agama), baik akidah, ibadah, maupun akhlak hingga tumbuhlah manusia-manusia yang berperilaku sombong, membanggakan diri dan merendahkan orang lain.
Ada beberapa hal yang menyebabkan manusia bisa berlaku sombong antara lain: pengaruh kecintaan terhadap dunia, kebanggaan terhadap ilmu yang dimilikinya atau juga kekuasaan. Semua sifat itu sudah disinggung dalam al-Qur-an dengan para pelakunya. Dalam Surat al-Qashash ayat 76 disebutkan: “Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”
Dalam ayat lain, kita bisa melihat bagaimana kesombongan Fir’aun dengan memanfaatkan keilmuan tangan kanannya yang bernama Haman. “Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan Sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” (QS al-Mu’min: 36-37)
Itulah gambaran al-Quran tentang manusia-manusia yang berkedudukan tinggi dan terhormat di tengah-tengah masyarakatnya, baik lantaran ilmu, kekayaan, dan kekuasaan, tetapi tidak dibarengi dengan bimbingan ruhani yang bersifat keagamaan. Mereka justru menentang ajaran agama yang dibawa oleh para utusan Allah.
Perilaku di atas jelas-jelas merupakan penyakit yang mengkhawatirkan dan harus dicarikan obat penawarnya, salah satunya tentu –seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Saw- adalah menumbuh-suburkan sikap tawadlu’. Sikap ini bisa dimaknai dengan rendah hati, tidak sombong. Atau lebih dalam lagi bahwa manusia tidak melihat dirinya memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Banyak dalil yang menganjurkan kepada umat agar bersikap tawadlu’.
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. al-Furqan [25]: 63)
‘Iyadh bin Himar ra. berkata: “Bersabda Rasulullah Saw: “Sesungguhnya Allah Swt telah mewahyukan kepadaku: “Bertawadlu’lah hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya.” (HR. Muslim). Rasulullah Saw juga bersabda: “Tiada berkurang harta karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadlu’ kepada Allah, melainkan dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh Allah.” (HR. Muslim).
Seseorang yang bersikap tawadlu’ akan menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah Swt. Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbesit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal salihnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.
Kemudian, di saat ia bertambah ilmunya maka bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Langitan
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait