Pada tahun 1932, saat berusia 18 tahun, KH Abdul Wahid Hasyim dikirim ke Makkah. Tujuan utamanya adalah untuk menjalankan ibadah haji, tetapi dia juga memiliki niat untuk memperdalam pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu agama. Ketika pergi ke Makkah, dia ditemani oleh saudara sepupunya, Kiai Muhammad Ilyas, yang nantinya menjadi Menteri Agama.
Kiai Muhammad Ilyas memainkan peran penting dalam membimbing perkembangan Wahid Hasyim, membantu dia tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Kiai Ilyas memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik dan dialah yang memberikan pengajaran kepadanya.
Selama dua tahun di Tanah Suci, Wahid Hasyim mengejar pendidikan. Pengalaman ini menunjukkan bahwa dia memiliki bakat intelektual yang luar biasa.
Dia mampu menguasai tiga bahasa asing: Arab, Inggris, dan Belanda. Dengan kemampuan ini, KH Wahid Hasyim dapat belajar dari berbagai buku. Pendekatan belajar otodidak yang diterapkannya memberikan dampak yang signifikan pada praktik dan dedikasinya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, terutama di pondok pesantren, serta dalam arena politik.
Keterlibatannya dalam dunia politik dimulai saat dia berusia 24 tahun (1938). Bersama dengan teman-temannya, dia aktif dalam memberikan pendidikan politik, menyebarkan gagasan-gagasan pembaruan, dan mengajak untuk melawan penjajah.
Bagi dia, pembaruan hanya dapat terjadi jika Indonesia berhasil membebaskan diri dari cengkraman penjajah. Pada usia 25 tahun, dia menikah dengan Solichah, putri KH Bisri Syansuri, yang waktu itu baru berusia 15 tahun.
Pada bulan April 1934, setelah kembali dari Makkah, banyak tawaran agar KH Wahid Hasyim bergabung dengan berbagai perkumpulan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU).
Pada waktu itu, Indonesia mengalami pertumbuhan banyak perkumpulan dan organisasi pergerakan, baik yang berbasis agama maupun nasionalis. Setiap kelompok berusaha memperkuat basis organisasi dengan merekrut anggota dari kalangan tokoh berpengaruh. Kedatangan Kiai Wahid Hasyim dinantikan oleh para pemimpin perkumpulan dan dia diajak untuk bergabung.
Namun, ternyata dia menolak tawaran-tawaran tersebut, termasuk dari NU. Pertanyaan muncul mengenai alasan di balik keputusan ini. Ada dua pilihan dalam pikirannya.
Pertama, dia bisa saja menerima tawaran untuk bergabung dengan salah satu perkumpulan atau partai yang sudah ada. Kedua, dia mungkin ingin mendirikan organisasi atau partai sendiri. Bagi KH Wahid Hasyim, tidak ada satupun dari perkumpulan atau partai yang ada saat itu yang sesuai dengan harapannya.
Pada tahun 1936, dia mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI). Organisasi ini bertujuan mengorganisir para pemuda dengan dia sendiri sebagai pemimpinnya. Salah satu usahanya adalah mendirikan taman baca. Pada tahun 1938, dia banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan-kegiatan di NU.
Dia diangkat sebagai Sekretaris Pengurus Ranting Tebuireng, kemudian menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Dalam tahun-tahun berikutnya, KH Wahid Hasyim menjadi anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Karier politiknya terus berkembang hingga tahun 1938.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait