SURABAYA,iNewsSurabaya.id - KH Wahid Hasyim lahir di Jombang, Jawa Timur, pada Jumat, 1 Juni 1914 pasangan suami istri KH Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas. Pada saat kelahirannya, rumahnya dihadiri oleh banyak pengajian.
Pada HUT RI ke 78 pada 17 Agustus 2023 hari ini mengungkap kembali peran ulama pejuang seperti Kiai Wahid Hasyim patut disampaikan kembali.
KH Wahid Hasyim adalah salah satu dari 10 anak KH Hasyim Asy’ari. Garis keturunannya dari pihak ayah terhubung hingga Joko Tingkir, yang lebih dikenal sebagai Sultan Sutawijaya dari Kerajaan Demak.
Dari sisi ibunya, silsilahnya berasal dari Sultan Brawijaya V, salah satu raja Kerajaan Mataram, yang juga dikenal dengan nama Lembu Peteng.
KH Wahid Hasyim adalah salah satu dari kesepuluh anak KH Hasyim Asy’ari, yang mencakup Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid Hasyim, Abdul Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Dari Nyai Masrurah, KH Hasyim Asy’ari memiliki empat anak: Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah, dan Ya’kub.
Sejak kecil, KH Wahid Hasyim telah menunjukkan kecerdasannya. Ia sudah mahir membaca Alquran sejak masih anak-anak dan menyelesaikannya pada usia tujuh tahun. Selain belajar langsung dari ayahnya, ia juga belajar di Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng.
Pada usia 12 tahun, setelah menyelesaikan madrasah, ia mulai membantu ayahnya dalam mengajar. Meskipun ia berasal dari keluarga terkenal, KH Wahid Hasyim tidak pernah mendapatkan pendidikan formal di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sebagian besar pendidikannya dilakukan secara mandiri.
Selain belajar di madrasah, KH Wahid Hasyim juga mendalami kitab-kitab dan buku dalam bahasa Arab. Ia menguasai syair-syair dalam bahasa Arab, menghafalnya, dan memahaminya dengan baik.
Pada usia 13 tahun, ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Namun, ia hanya tinggal di sana selama sebulan. Setelah itu, ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri.
Meskipun sering berpindah-pindah pesantren dalam waktu singkat, KH Wahid Hasyim lebih mengutamakan keberkahan dari hubungannya dengan sang guru daripada ilmu yang diperoleh.
Bagi KH Wahid Hasyim, ilmu bisa diperoleh di mana saja dan dengan cara apa pun. Tetapi, ia lebih mementingkan berkah yang datang dari hubungannya dengan kiai. Ini adalah pertimbangan utama dalam pikirannya.
Setelah kembali dari Lirboyo, ia tidak melanjutkan studi di pesantren lain, melainkan memilih untuk tinggal di rumah. Ayahnya membiarkan dia menentukan cara belajar yang sesuai baginya. Meskipun tinggal di rumah, semangat belajar KH Wahid Hasyim tetap tinggi, terutama dalam pembelajaran mandiri.
Meskipun tidak mengikuti pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan umum yang dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun, ia sudah mengenal huruf Latin dan memiliki kemampuan dalam bahasa Inggris dan Belanda. Kemampuan bahasa-bahasa asing ini diperolehnya melalui membaca majalah dari dalam dan luar negeri.
Pada tahun 1916, selama pengembangan pesantren, Kiai Ma’sum, menantu KH Hasyim Asy’ari, dengan dukungan dari KH Wahid Hasyim, mulai memasukkan sistem madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren.
Upaya pembaruan pendidikan di Pesantren Tebuireng yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari bersama murid dan anak-anaknya tidak berjalan dengan mulus. Langkah pembaruan ini menimbulkan reaksi besar dari masyarakat dan pesantren, sehingga banyak orang tua memindahkan anak-anak mereka ke pesantren lain, merasa bahwa Pesantren Tebuireng terlalu modern. Namun, hal ini tidak menghentikan proses pembaruan Pesantren Tebuireng.
Proses pembaruan ini terus berlanjut dengan upaya KH Wahid Hasyim mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.
Pada tahun 1932, saat berusia 18 tahun, KH Abdul Wahid Hasyim dikirim ke Makkah. Tujuan utamanya adalah untuk menjalankan ibadah haji, tetapi dia juga memiliki niat untuk memperdalam pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu agama. Ketika pergi ke Makkah, dia ditemani oleh saudara sepupunya, Kiai Muhammad Ilyas, yang nantinya menjadi Menteri Agama.
Kiai Muhammad Ilyas memainkan peran penting dalam membimbing perkembangan Wahid Hasyim, membantu dia tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Kiai Ilyas memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik dan dialah yang memberikan pengajaran kepadanya.
Selama dua tahun di Tanah Suci, Wahid Hasyim mengejar pendidikan. Pengalaman ini menunjukkan bahwa dia memiliki bakat intelektual yang luar biasa.
Dia mampu menguasai tiga bahasa asing: Arab, Inggris, dan Belanda. Dengan kemampuan ini, KH Wahid Hasyim dapat belajar dari berbagai buku. Pendekatan belajar otodidak yang diterapkannya memberikan dampak yang signifikan pada praktik dan dedikasinya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, terutama di pondok pesantren, serta dalam arena politik.
Keterlibatannya dalam dunia politik dimulai saat dia berusia 24 tahun (1938). Bersama dengan teman-temannya, dia aktif dalam memberikan pendidikan politik, menyebarkan gagasan-gagasan pembaruan, dan mengajak untuk melawan penjajah.
Bagi dia, pembaruan hanya dapat terjadi jika Indonesia berhasil membebaskan diri dari cengkraman penjajah. Pada usia 25 tahun, dia menikah dengan Solichah, putri KH Bisri Syansuri, yang waktu itu baru berusia 15 tahun.
Pada bulan April 1934, setelah kembali dari Makkah, banyak tawaran agar KH Wahid Hasyim bergabung dengan berbagai perkumpulan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU).
Pada waktu itu, Indonesia mengalami pertumbuhan banyak perkumpulan dan organisasi pergerakan, baik yang berbasis agama maupun nasionalis. Setiap kelompok berusaha memperkuat basis organisasi dengan merekrut anggota dari kalangan tokoh berpengaruh. Kedatangan Kiai Wahid Hasyim dinantikan oleh para pemimpin perkumpulan dan dia diajak untuk bergabung.
Namun, ternyata dia menolak tawaran-tawaran tersebut, termasuk dari NU. Pertanyaan muncul mengenai alasan di balik keputusan ini. Ada dua pilihan dalam pikirannya.
Pertama, dia bisa saja menerima tawaran untuk bergabung dengan salah satu perkumpulan atau partai yang sudah ada. Kedua, dia mungkin ingin mendirikan organisasi atau partai sendiri. Bagi KH Wahid Hasyim, tidak ada satupun dari perkumpulan atau partai yang ada saat itu yang sesuai dengan harapannya.
Pada tahun 1936, dia mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI). Organisasi ini bertujuan mengorganisir para pemuda dengan dia sendiri sebagai pemimpinnya. Salah satu usahanya adalah mendirikan taman baca. Pada tahun 1938, dia banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan-kegiatan di NU.
Dia diangkat sebagai Sekretaris Pengurus Ranting Tebuireng, kemudian menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Dalam tahun-tahun berikutnya, KH Wahid Hasyim menjadi anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Karier politiknya terus berkembang hingga tahun 1938.
Dalam kabinet pertama yang dibentuk oleh Presiden Soekarno pada bulan September 1945, KH Abdul Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Negara. Hal serupa juga terjadi dalam Kabinet Syahrir pada tahun 1946. Pada tahun yang sama, saat Konstituante Nasional Indonesia Pusat (KNIP) didirikan, KH Abdul Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya yang mewakili Masyumi dan kemudian naik pangkat menjadi anggota Badan Pekerja KNIP.
Karier politik KH Wahid Hasyim di panggung nasional terus meroket. Walaupun masih muda, ia memegang beberapa posisi penting. Salah satunya adalah saat Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dia termasuk salah satu anggota termuda di antara 62 orang yang ada, bersama Bintoro. Saat itu, usia KH Wahid Hasyim 33 tahun, sedangkan Bintoro berusia 27 tahun. KH Wahid Hasyim juga terlibat dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Dengan kecerdasan intelektual dan kemampuan organisasi yang luar biasa, KH Wahid Hasyim menduduki posisi Menteri Agama dalam tiga kabinet berbeda, yaitu Kabinet M Hatta, M Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Sayangnya, KH Wahid Hasyim meninggal pada tanggal 19 April 1953 di usia 39 tahun akibat kecelakaan mobil di Kota Cimahi, Jawa Barat. Berkat kontribusinya terhadap bangsa dan negara, dia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 206 tahun 1964, tanggal 24 Agustus 1964. Namanya juga diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Jakarta Pusat.
Sumber: Biografi singkat KH Abdul Wahid Hasyim diambil dari Buku "99 Kiai Kharismatik Indonesia" oleh Kiai A. Aziz Masyhuri, diterbitkan oleh Kutub, Yogyakarta.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar