SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Film adaptasi "A Business Proposal" versi Indonesia tengah menjadi sorotan setelah ratingnya di IMDb anjlok drastis hingga mencapai 1/10 dan penayangannya ditarik dari beberapa bioskop.
Kontroversi tersebut bermula dari pernyataan aktor utamanya, Abidzar Al Ghifari, yang mengaku tidak membaca Webtoon maupun menonton drama Korea aslinya sebelum memerankan karakter tersebut. Pernyataan ini memicu reaksi keras netizen dan fenomena cancel culture.
Meilinda, S.S., M.A., dosen English for Creative Industry di Petra Christian University (PCU), menjelaskan fenomena ini sebagai “budaya pengenyahan” di mana aktor tersebut disingkirkan dari posisinya karena perkataan dan sikapnya.
“Targetnya memang menyingkirkan orang itu dari pekerjaan atau kesejahteraannya,” ungkap Meilinda. Ia menambahkan bahwa dampaknya tidak hanya dirasakan Abidzar, tetapi juga seluruh tim produksi.
Sebagai figur publik, lanjut Meilinda, aktor memiliki tanggung jawab atas perkataan dan tindakannya.
“Apa yang ia lakukan akan disorot, diperbincangkan, dan dijadikan dasar penilaian karakter pribadinya. Pernyataan sang aktor dianggap arogan—sesuatu yang kurang dapat diterima dalam budaya Indonesia,” jelasnya.
Kasus ini juga memicu perdebatan mengenai strategi adaptasi. “Jika sutradara ingin berpegang pada versi asli, aktor perlu mempelajari dan mendiskusikan karya asli. Diskusi dengan sutradara sangat penting untuk menentukan elemen mana yang harus dipertahankan atau diubah,” tutur Meilinda.
Namun, ia juga menekankan bahwa interpretasi baru bisa menjadi pendekatan yang sah, asalkan sesuai dengan visi produksi.
“Aktor memegang peran krusial, mereka adalah wajah dan jiwa cerita. Aktor yang tepat dapat membangun keterikatan emosional dengan penonton,” ujarnya.
Selain kemampuan akting, citra publik juga berpengaruh. “Cancel culture, kontroversi, atau reputasi buruk aktor dapat berdampak negatif pada penerimaan film,” tambah Meilinda.
Meilinda menyoroti pentingnya pemahaman karakter, terutama dalam adaptasi. “Jika adaptasi masih terhubung dengan sumbernya, memahami versi asli membantu mempertahankan esensi karakter. Jika ingin menghadirkan sesuatu yang baru, fleksibilitas dalam membangun karakter lebih penting,” imbuhnya.
Ia juga menyayangkan hilangnya ruang untuk klarifikasi atau diskusi dalam cancel culture, yang dapat membentuk ekosistem digital yang intoleran terhadap perbedaan pendapat.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi aktor dan produser untuk lebih bijak dalam menjaga citra, baik di dunia nyata maupun maya. Opini publik dapat datang dengan cepat dan berdampak signifikan pada individu dan kesuksesan karya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait