Namun, praktik tersebut menimbulkan masalah dalam hubungan dagang internasional, terutama dengan negara-negara Eropa. Oleh karena itu, pemerintah mengadopsi tiga kebijakan reformasi dalam sistem pendaftaran merek:
Mengubah prinsip "first to use" menjadi "first to file", sehingga hak merek diberikan kepada pihak yang pertama kali mendaftarkannya.
Menetapkan pendaftaran merek harus dilakukan dengan iktikad baik, dan melarang pendaftaran yang bertujuan meniru, menjiplak, atau mendompleng merek lain.
Mewajibkan pemohon merek untuk menyertakan "Declaration of Ownership" (Surat Pernyataan Kepemilikan), sebagai bukti bahwa merek yang didaftarkan benar-benar miliknya.
Ahli juga menyoroti praktik pendaftaran merek oleh karyawan tanpa persetujuan pemilik usaha. Dalam banyak kasus, perusahaan tidak dikelola secara profesional, sehingga merek yang seharusnya menjadi aset perusahaan justru didaftarkan oleh individu tertentu.
Ia menjelaskan bahwa dalam hukum merek, jika merek dimiliki secara bersama, maka pendaftarannya harus mendapat persetujuan dari semua pihak yang berhak. Jika seorang karyawan mendaftarkan merek tanpa izin, maka pendaftaran tersebut berpotensi cacat hukum.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa seorang karyawan yang diam dan tidak pernah mengklaim kepemilikan atau meminta royalti atas merek yang digunakan oleh perusahaan secara implisit telah mengakui bahwa merek tersebut bukan miliknya sendiri.
Ahli menekankan bahwa Declaration of Ownership bukan sekadar dokumen administratif, melainkan pernyataan di atas materai yang memiliki konsekuensi hukum. Jika pernyataan tersebut terbukti tidak benar, maka dapat dikategorikan sebagai keterangan palsu, yang berpotensi dijerat dengan Pasal 242 atau 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
Menurutnya, iktikad tidak baik dalam pendaftaran merek tidak hanya mencakup peniruan atau penjiplakan merek lain, tetapi juga meliputi pengakuan kepemilikan yang tidak sah. Jika seseorang mendaftarkan merek yang seharusnya milik bersama, maka pernyataan kepemilikan yang dibuatnya dapat dianggap sebagai keterangan palsu, yang berdampak pada pembatalan sertifikat merek secara hukum.
Trademark Squatting dan Passing Off
Ahli juga membahas fenomena trademark squatting, yakni pendaftaran merek oleh pihak yang tidak berhak dengan tujuan untuk kemudian menjualnya kepada pemilik asli. Kasus serupa pernah terjadi di Indonesia, di mana merek-merek terkenal seperti POLO, PRADA, dan LOUIS VUITTON didaftarkan oleh individu yang tidak berhak.
Selain itu, ia menjelaskan konsep passing off, yaitu penjualan produk dengan menggunakan kemasan atau identitas yang menyerupai merek lain. Praktik ini termasuk dalam kategori persaingan usaha tidak sehat, kecuali jika kemasan tersebut telah didaftarkan sebagai merek tiga dimensi (3D).
Kesimpulan Ahli
Dalam keterangannya, ahli menegaskan bahwa dalam sengketa merek Kutus Kutus, penggugat memiliki hak untuk mengajukan gugatan pembatalan merek karena terdapat dugaan iktikad tidak baik dalam pendaftaran merek oleh tergugat. Ia juga menyoroti pentingnya deklarasi kepemilikan yang jujur dan sesuai dengan fakta, agar tidak berujung pada pembatalan merek atau sanksi hukum.
Sidang masih berlanjut, dan putusan akhir akan bergantung pada pembuktian lebih lanjut dari kedua belah pihak.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait