Pembayaran uang muka senilai Rp3,87 miliar kepada HS dilakukan pada 30 Desember 2020, menggunakan dokumen yang dibuat secara backdate, termasuk SK panitia, notulen rapat, dan akta jual beli. Sisa pembayaran dilakukan secara bertahap hingga mencapai Rp22,62 miliar, tanpa proses akuisisi aset atau pencatatan hak atas tanah atas nama Polinema.
"Sebagian besar lahan yang dibeli ternyata berada di zona ruang manfaat jalan, badan air, dan berbatasan langsung dengan sempadan sungai, sehingga tidak layak untuk pembangunan gedung kampus," terang Windhu.
Dari total dana yang dibayarkan, sebesar Rp4,3 miliar dan Rp3,1 miliar dititipkan ke notaris dan internal Polinema untuk pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Padahal, sesuai regulasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak dikenakan BPHTB.
Berdasarkan hasil penyidikan, negara ditaksir mengalami kerugian sebesar Rp22,62 miliar akibat perbuatan melawan hukum tersebut.
Atas dugaan tindak pidana korupsi ini, kedua tersangka dijerat dengan: Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan Subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 UU yang sama jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Proses hukum terhadap AS dan HS kini terus berjalan. Kejati Jatim menegaskan komitmennya dalam memberantas praktik korupsi, terutama yang menyangkut keuangan negara dan institusi pendidikan.
Editor : Arif Ardliyanto
