SURABAYA, iNews.id - Skema urun dana atau crowdfunding dari rakyat untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) menjadi isu yang terus diperbincangkan akhir-akhir ini.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR), Gitadi Tegas Supramudyo, menilai bahwa skema ini muncul dan mengejutkan masyarakat. Hal itu diakibatkan oleh grand design sumber dana pembangunan IKN yang belum jelas.
Skema Pendanaan IKN
“Kebutuhan anggaran untuk pembangunan IKN adalah 466 triliun, hanya didukung APBN 20 persen. Artinya, 80 persen setara 377 triliun berasal dari sumber lain yaitu non-APBN,” jelas Gitadi.
Sampai saat ini pemerintah hanya mengumumkan secara detail sumber dana pembangunan IKN dari sisi komponen APBN. Pemerintah belum menjelaskan secara detail komposisi sumber dana pembangunan IKN dari non-APBN. Hal ini mengindikasikan lemahnya dimensi perencanaan pembangunan IKN.
Jika dilihat secara komprehensif dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, utang negara, dan khususnya faktor yang mendesak terhadap adanya IKN, Gitadi menilai sumber dana untuk pembangunan IKN dari non-APBN adalah beban yang sangat berat.
“Mencari 80 persen yaitu sekitar 377 triliun rasanya terlalu utopis,” tuturnya.
Alasan Urun Dana Rakyat
Skema urun dana dari rakyat untuk pembangunan IKN menjadi rencana pemerintah untuk memenuhi salah satu sumber dana pembangunan IKN dari non-APBN.
Akan tetapi, Gitadi menjelaskan bahwa skema urun dana dari rakyat ini bisa saja tidak memenuhi target, sehingga kekhawatiran berkaitan dengan adanya kemungkinan oversimplified dan overconfidence oleh pemerintah pun timbul.
“Pemerintah berpikir seandainya 20 persen saja masyarakat Indonesia akan menyumbang, maka akan didapat dana yang besar,” ujar Gitadi.
“Tidak tercapainya target urun dana dari rakyat bisa berpengaruh dan bisa tidak terlalu berpengaruh, tergantung proporsinya. Apalagi sampai saat ini tidak diketahui secara detail komposisi sumber dana non-APBN tersebut,” jelasnya.
Sumber dari Kerja Sama
Gitadi menyarankan agar skema sumber dana pembangunan IKN dari kerja sama lebih dikedepankan meskipun biasanya akan berdampak pada posisi tawar terhadap pihak kedua, khususnya dalam policy making.
“Apalagi jika mengandalkan sumbangan sektor privat yang sebagian besar biasanya meminta kompensasi langsung maupun tidak langsung dalam berbagai bentuknya,” tegasnya.
“Terkait dengan dana dari masyarakat, sebaiknya kecil saja mengingat pengalaman crowdfunding di masa lalu,” pungkas Gitadi.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait