Salah satu keluhan paling umum dari pelaku usaha adalah cara perhitungan royalti yang dianggap janggal. Dalam beberapa kasus, royalti dihitung berdasarkan luas tempat dan jumlah kursi, bukan berdasarkan jumlah atau jenis lagu yang diputar.
“Kalau di luar negeri, royalti untuk konser dihitung dari jumlah lagu yang dibawakan dan dikaitkan dengan pendapatan tiket. Bukan luas stadion atau jumlah kursi,” kata George memberi perbandingan.
George juga menyarankan agar revisi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta melibatkan pelaku usaha, agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan satu pihak.
“Kita butuh aturan yang adil untuk semua. Termasuk pelaku usaha juga harus dilibatkan saat merumuskan kebijakan. Jangan hanya sepihak,” pungkasnya.
Kisruh royalti musik di Indonesia menjadi cermin bahwa sistem saat ini masih perlu banyak pembenahan. Pengusaha hiburan tidak menolak membayar royalti, tapi mereka berharap sistem yang diterapkan lebih transparan, adil, dan berbasis teknologi.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
