Di sinilah letak persoalan: bagaimana menyalurkan aspirasi tanpa berubah menjadi anarkisme?
Di sisi lain, aparat penegak hukum juga punya tanggung jawab besar. Mengawal demonstrasi seharusnya dilakukan dengan pendekatan humanis dan persuasif, bukan dengan tindakan represif yang justru memperkeruh keadaan. Tragedi Affan Kurniawan adalah contoh nyata bahwa kekerasan hanya melahirkan luka baru dalam hubungan negara dan rakyat.
Polisi idealnya berdiri sebagai pengayom, bukan sekadar penjaga ketertiban dengan tameng dan gas air mata. Demokrasi hanya bisa sehat jika ruang ekspresi rakyat dijaga dengan adil, terukur, dan profesional.
Demonstrasi adalah cermin demokrasi. Ia menjadi pengingat bahwa rakyat bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek yang berhak mengontrol jalannya pemerintahan. Namun, kebebasan ini akan kehilangan makna jika berubah menjadi aksi vandalisme.
Ke depan, kita perlu membangun budaya protes yang lebih beradab. Rakyat menyuarakan kritik dengan tertib, aparat mengawal dengan sabar, dan pejabat publik menanggapi dengan rendah hati. Jika ketiganya berjalan beriringan, demokrasi Indonesia akan semakin matang.
Karena pada akhirnya, demonstrasi bukan hanya tentang melawan, melainkan juga tentang menjaga—menjaga hak, menjaga martabat, dan menjaga masa depan bangsa.
Penulis :
Dr. Budi Endarto, S.H., M.Hum.
Rektor Universitas Wijaya Putra (UWP)
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
