GRESIK, iNewsSurabaya.id – Pulau Bawean di Kabupaten Gresik memiliki warisan maritim unik yang telah melewati lintas generas, perahu jhukong. Perahu bercadik tradisional ini menjadi simbol kehidupan nelayan Bawean sekaligus identitas budaya masyarakat pesisir yang masih bertahan hingga kini.
Jhukong dikenal memiliki bentuk khas dengan dua cadik bambu yang disebut kater. Kedua cadik melengkung itu berfungsi menjaga keseimbangan perahu saat diterjang ombak laut.
Bahan utamanya berasal dari kayu binong, yang diolah dari satu batang utuh dan dilubangi di bagian tengah, menyisakan dinding tepi dan dasar geladak. Teknik pembuatan ini dalam istilah pelaut dikenal sebagai perahu lesung, yang membutuhkan keahlian turun-temurun dari para pengrajin Bawean.
Bagi nelayan Bawean, jhukong bukan sekadar alat tangkap ikan. Sejak dahulu, perahu ini juga menjadi alat transportasi laut utama, penghubung antar desa, bahkan sarana mobilitas antarpulau. Karena nilai sejarah dan fungsinya yang tinggi, masyarakat Bawean sepakat untuk melestarikan jhukong agar tetap menjadi bagian penting dari kehidupan dan kebudayaan mereka.
“Kami ingin jhukong tetap lestari dan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang,” ujar Kyai Ali Masyhar, tokoh masyarakat Bawean, Gresik.
Dalam kesepakatan bersama masyarakat etnis Bawean, jhukong telah dideklarasikan sebagai ikon perahu nelayan Bawean serta warisan budaya takbenda asal Pulau Bawean. Langkah berikutnya, mereka bersama pemerintah daerah dan pusat berupaya mendorong pengakuan dari UNESCO agar jhukong diakui sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.
Pengukuhan simbolis itu dilakukan di Desa Telukjatidawang, Kecamatan Tambak, Gresik, pada Festival Pulau Cena Bawean 2019. Momen tersebut menjadi tonggak penting dalam upaya menjaga identitas budaya maritim Bawean di tengah arus modernisasi.
Meski demikian, Kyai Ali Masyhar menyoroti lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap pelestarian budaya Bawean. Ia menilai, Dinas Kebudayaan Gresik kurang memahami esensi budaya lokal, karena lebih mempromosikan kegiatan lain yang tidak mencerminkan identitas Bawean.
“Yang seharusnya diusulkan sebagai warisan budaya adalah jhukong, bukan toktok sapi yang justru bukan bagian dari tradisi Bawean,” tegasnya.
Kyai Ali juga menyesalkan minimnya keterlibatan pemerintah daerah dalam kegiatan Sail Indonesia yang beberapa kali singgah di Bawean.
“Masyarakat terus bertanya-tanya, kenapa setiap Sail Indonesia datang, tak ada keterlibatan nyata dari dinas terkait? Apakah Bawean sudah tidak diurus lagi?” tutupnya dengan nada kecewa.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
