Inilah pentingnya moral reading dalam memahami hukum dan budaya. Penilaian atas suatu tindakan tidak cukup berdasarkan teks atau visual semata, tetapi perlu membaca nilai dan makna di baliknya.
Kata pesantren berasal dari istilah santri yang diberi imbuhan pe- dan -an, berarti tempat para santri belajar. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, santri berasal dari kata cantrik—murid yang setia mengikuti gurunya. Hubungan guru dan murid dalam pesantren bukan sekadar akademik, melainkan spiritual dan moral.
Antropolog Zamakhsyari Dhofier menulis bahwa pesantren tumbuh dari empat pilar: pondok, masjid, kiai, dan santri. Dari sini lahir komunitas belajar yang ikhlas, sederhana, dan berkarakter.
Dari rahim pesantren pula lahir tokoh besar bangsa: KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, KH Wahab Chasbullah, dan banyak lainnya. Mereka bukan hanya ulama, tapi juga perancang fondasi moral Republik Indonesia. Maka, ketika Trans7 menampilkan kiai dengan nada satir, wajar jika publik marah—terlebih yang disinggung adalah KH Anwar Manshur (Mbah Yai War), tokoh kharismatik dari Lirboyo.
Gerakan #BoikotTrans7 sebenarnya bisa menjadi momentum refleksi bersama, bukan sekadar pelampiasan kemarahan. Media perlu memahami kembali batas etika penyiaran, sementara masyarakat juga perlu mendorong dialog, bukan permusuhan.
Menurut P3SPS KPI, lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan agama dan budaya, serta tidak boleh menayangkan program yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan publik. Sanksinya bisa berupa teguran tertulis, pemberhentian program sementara, bahkan pencabutan izin siaran jika pelanggaran berulang.
Namun, lebih penting dari sekadar sanksi adalah pendidikan etik media. Media perlu belajar dari prinsip tabayun yang diajarkan pesantren: klarifikasi sebelum menyimpulkan. Datanglah, dengarkan, pahami—baru siarkan.
Pesantren dan Media: Dua Sekolah Publik yang Harus Bersinergi
Pesantren dan media sebenarnya punya misi yang sama: mendidik publik. Bedanya, pesantren mendidik dengan keteladanan dan keheningan, sementara media mendidik dengan suara dan gambar. Jika keduanya saling memahami, ruang publik kita akan lebih beradab.
Boikot mungkin perlu sebagai “wake-up call”. Tetapi setelah kesadaran tumbuh, dialog adalah jalan terbaik. Karena pada akhirnya, kebebasan berekspresi hanya bermakna bila disertai tanggung jawab moral terhadap sesama manusia—termasuk terhadap pesantren dan tradisi luhur yang telah menjaga akhlak bangsa selama berabad-abad.
Oleh:
Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
