SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Jumlah pernikahan dini di Jawa Timur (Jatim) masih tinggi. Berdasarkan data dari Pengadilan Tinggi Agama Tahun 2024, jumlah pernikahan dini di Jatim mencapai 8.164 perempuan dan 1.541 laki-laki.
Sementara itu, tercatat 3.552 permohonan dispensasi kawin masuk ke Pengadilan Tinggi Agama Jatim antara Januari hingga Juni 2025. Rata-rata, sekitar 20 anak menikah setiap hari di provinsi ini, yang sebagian besar disebabkan oleh kehamilan di luar nikah.
Pada 2022, jumlah dispensasi kawin terbanyak berasal dari Kabupaten Malang, disusul Jember, Pasuruan, Lumajang, dan Probolinggo.
Praktik perkawinan anak, yang dalam banyak kasus berkelindan dengan kekerasan berbasis gender, sunat perempuan, serta pekerja anak, telah lama menjadi persoalan multidimensi yang mempengaruhi masa depan generasi muda di provinsi ini.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, Anwar Sholihin, menyatakan bahwa kebijakan tingkat provinsi harus menembus pemerintahan terbawah.
“Intervensi kebijakan tak cukup hanya di tingkat provinsi, tetapi harus sampai ke desa. Karena keputusan yang menentukan nasib anak justru banyak terjadi di tingkat keluarga dan komunitas,” ujarnya, Rabu (10/12/2025).
Pada awal 2024, LPA Jatim bersama Unicef menjalankan Program BERANI II (Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia) dengan dukungan Pemerintah Kanada dan Pemerintah Indonesia. Intervensi program diarahkan terutama ke dua kabupaten dengan risiko tertinggi, yakni Malang dan Jember.
Pencegahan dilakukan dengan memperkuat dasar hukum dan kelembagaan. Bentuknya antara lain advokasi peraturan dari tingkat provinsi hingga desa, penyusunan rencana aksi daerah dan desa, pembentukan Forum Anak, dan penguatan Gugus Tugas Desa Layak Anak.
Selain itu, program memberikan pelatihan kepada aparat desa serta kader perlindungan anak untuk memahami mekanisme pencegahan dan penanganan kasus.
Anwar mengungkapkan, belakangan angka dispensasi kawin menurun. Kabupaten Malang dan Jember yang sebelumnya tercatat tertinggi pada 2022, kini posisinya bergeser. Tahun 2024, angka dispensasi meningkat di Pasuruan, Banyuwangi, Lumajang, dan Probolinggo. “Posisinya turun menjadi peringkat lima dan enam,” ujar Anwar.
Meski jumlah dispensasi menurun, tantangan baru muncul, yakni praktik nikah siri. Ketika proses dispensasi dianggap mempersulit, sebagian keluarga memilih jalan di luar prosedur.
Selain itu, masih terdapat persoalan terkait keberlanjutan pendidikan bagi anak yang terlanjur menikah, termasuk akses layanan kesehatan reproduksi dan perlindungan dari kekerasan domestik.
Anwar mengingatkan, penurunan angka dispensasi tidak serta-merta menandakan berakhirnya persoalan perkawinan anak. “Berbagai keberhasilan harus dibarengi pengawasan lebih jauh, karena persoalan tidak berhenti pada penurunan angka dispensasi saja,” ujarnya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
