Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, selama menjalani masa tahanan Maulwi tidak pernah mendapatkan hak-haknya sebagai tentara seperti gaji dan tunjangan. Bahkan, barang-barang berharga miliknya ikut disita petugas. Beruntung, orang tuanya di Makassar masih hidup sehingga bisa membantu kehidupan keluarga Maulwi. Hingga pada pertengahan 1972, Maulwi tiba-tiba diperintahkan petugas untuk keluar dari sel.
Saat itu, Maulwi diminta untuk naik sebuah mobil. Tanpa banyak tanya, Maulwi pun mengikuti perintah yang ditujukan kepadanya tanpa mengetahui apa yang bakal terjadi. Dalam perjalanan, Maulwi baru mengetahui jika dirinya telah bebas. “Ternyata itu hari kebebasan. Sudah begitu aja,” kenang Maulwi.
Setelah lima tahun menjalani masa tahanan sejak 1967, Maulwi akhirnya bisa menghirup udara bebas. Meski demikian, Maulwi tidak serta merta mendapatkan kebebasannya. Aparat tetap mewajibkan Maulwi mendatangi kantor CPM dan meminta surat keterangan resmi agar tidak dicap sebagai PKI. Tidak hanya itu, Maulwi juga tidak mendapatkan gaji atau pensiunannya sebagai tentara.
Hingga suatu ketika Maulwi bertemu dengan ulama besar Buya Hamka. Ulama besar yang berseberangan dengan Presiden Soekarno. Saat itu, Buya memercayai Maulwi untuk membantu mengurus sekolah di Kebayoran Baru. Maulwi pun berhasil membayar kepercayaan itu. Kepercayaannya kepada Maulwi, membuat Buya Hamka mengangkatnya menjadi anak angkat.
Editor : Arif Ardliyanto