KEDIRI, iNews.id - Pernikahan beda agama sering menjadi hambatan pasangan, baik di level agama maupun negara.
Persoalannya, ketika dua orang dari agama berbeda menikah, ada dua aturan agama yang harus diikuti.
Sementara, setiap institusi agama memiliki perbedaan cara dalam menyikapi pernikahan.
Yayasan Sehati Indonesia, Roemah Bhinneka, mengadakan Forum Komunikasi Pernikahan Beda Agama di Wisma Betlehem, Puhsarang, Kediri, pada Sabtu (23/7/2022).
Mengundang semua perwakilan agama seperti penghayat kepercayaan, Hindu, Buddha, Katolik, Protestan, dan Islam.
Ketua Penyelenggara, Iriyanto Susilo, menegaskan bahwa forum tersebut tidak untuk mengutik urusan agama masing-masing.
Namun, untuk berbincang soal ruang-ruang Hak Asasi Manusia (HAM) warga yang tidak diperhatikan negara, sehingga hak-hak warga untuk melangsungkan pernikahan beda agama tidak terpenuhi.
"Dalam konteks masyarakat majemuk, kita beragam, kita bisa saling kenal seperti sekarang merupakan bibit pertemuan terjadinya pernikahan. Kalau itu tidak difasilitasi (oleh negara, Red) dan dibuntu di ruang-ruang agama, bagaimana?" ujarnya.
Ketua Forum Komunikasi Pernikahan Beda Agama, Dian Jeanne, menjelaskan bahwa akhir-akhir ini penolakan negara atas pernikahan beda agama semakin gencar, tidak sedikit aturan-aturan terkait pernikahan beda agama mulai tidak longgar.
"Aturan pernikahan beda agama diperketat. Sehingga saya berharap, kita bisa menemukan celah dan ruang, agar nilai-nilai kemanusiaan dan HAM warga negara bisa terfasilitasi dengan baik," tuturnya.
Di forum yang sama, Dosen Filsafat UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung, Akhol Firdaus, membaca kegelisahan serupa yang dirasakan masyarakat mengenai isu-isu pernikahan beda agama. Katanya, itu adalah isu abadi.
"Pernikahan beda agama menjadi bagian dari perspektif HAM yang belum diselesaikan negara, bangsa harus memperjuangkan hak-hak konstitusional agar mendapat jalan terang pernikahan beda agama dapat diakomodir," tegasnya.
Akhol melihat regulasi pernikahan beda agama tidak bisa dilepaskan dari pasal karet yang ada di UU No 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama.
"Itu pasal karet, seperti dua keping mata pisau. Di saat yang bersamaan ada mayoritas kelompok Islam, memakai pasal ini sebagai instrumen menegaskan sikap kalau nikah beda agama dilarang," katanya.
Melalui perspektif HAM, setiap individu dapat jaminan membentuk keluarga dari pernikahan tanpa melihat status dan agama.
Ada dua lapis persoalan, instrumen HAM internasional memberi garansi individu hak dasar untuk membentuk keluarga.
Namun, aturan domestik membuka ruang tafsir membatasi hak-hak itu hanya berdasarkan kesamaan agama.
"Terkait dengan celah pasal karet UU No 1 tahun 1974, mengacu pada UU No 23 tahun 2006 pasal 35a, pernikahan beda agama bisa dilakukan melalui pengetahuan pengadilan dan mendapat catatan administrasi kependudukan (Adminduk), tentu dilakukan menurut agama dan kepercayaan," ujarnya.
Oleh kelompok Islam tertentu, poin tersebut mendapat perhatian.
Pasal terkait Adminduk itu dianggap memberi celah bagi rekognisi pernikahan beda agama di Indonesia.
Ketika UU Pernikahan tidak memberi ruang, ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan.
"Sementara teman kita dari ruang sebelah (golongan Islam yang lain, Red) mengupayakan yudisial review terhadap UU No 23 tahun 2006 pasal 35a. Karena pasal ini satu-satunya ruang atau celah yang memungkinkan (dipakai, Red) individu dan masyarakat yang pro terhadap isu pernikahan beda agama," tuturnya.
"Ada upaya hukum yang sama untuk semakin menutup ruang. Ada arus lain, selain arus yang kita ciptakan untuk advokasi. Ada arus dari kelompok sebelah (Islam golongan lain, Red), untuk semakin menutup semua peluang pernikahan beda agama bisa dilakukan di Indonesia," imbuhnya.
Akhol mengatakan bahwa lembaga di dalam tubuh negara yang berkaitan dengan isu pernikahan beda agama, tidak kunjung memberi upaya yang pasti dalam menyediakan sarana untuk warga, lembaga negara malah bersikap sebaliknya.
Berkaitan dengan itu, perpindahan atau konversi agama dari pasangan pernikahan beda agama, termasuk koersi yang dilakukan negara.
Koersi, kata Akhol, merupakan pelanggaran berat dalam HAM yang setara dengan pembunuhan. Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, turut merespon isu tersebut.
Persoalan mendasar dari isu-isu pernikahan beda agama adalah tidak adanya hukum yang mengatur.
Sehingga terasa kosong di tubuh hukum, lantas tidak sedikit yang memilih berpindah agama.
"Di satu sisi, pasangan beda agama kesulitan dalam melaksanakan pernikahan, salah satu solusi yang banyak dijumpai adalah konversi (pindah agama, Red), menundukkan diri ke salah satu agama pasangannya," tegasnya.
Di sisi lain, negara jamin kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia. Ketika ada undang-undang yang melarang, artinya negara intervensi kebebasan beragama warga negara.
Padahal kebebasan beragama itu hak yang tidak dapat dibatasi.
Menurut Asisten Ombudsman RI Jawa Timur, Muslih, pernikahan beda agama di dalam UU Pernikahan sebetulnya diperbolehkan dengan ketentuan masing-masing agama.
Muslih menegaskan pernikahan beda agama merupakan hak masing-masing individu, seharusnya negara tidak menghalangi, namun memberi ruang.
"Tergantung interpretasi dari pembuat regulasi juga, itu menjadi sangat menentukan. Kemudian ranah ini dapat diajukan ke Ombudsman, apalagi sudah ada yang memohon dalam pencatatat sipil namun pelayanan publik tidak respon, itu bisa dilaporkan," tegasnya.
Panitia Forum beda agama masih kesulitan untuk menikah.
"Untuk pasangan seperti itu bisa diberi ruang, sejauh mereka bisa tanggung jawab dan toleransi itu tidak masalah," katanya.
Sedangkan, Fahmi Ardiyanto, YLBHI-LBH Surabaya, sepakat dalam pernikahan beda agama yang paling diutamakan ialah nilai-nilai kemanusiaan.
"Karena hak untuk menikah dan bentuk keluarga ialah hak setiap orang dan dijamin oleh undang-undang," pungkasnya.
Editor : Ali Masduki