PONTIANAK, iNewsSurabaya.id - Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) mengusulkan pendirian Kapuas Crisis Centre (KCC), yang berfungsi sebagai sentral informasi pengelolaan sungai Kapuas.
Keberadaan KCC tersebut untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat tentang sungai kapuas.
"Melalui KCC masyarakat bisa terlibat langsung menjadi relawan dan berpartisipasi ikut menjaga fungsi ekosistem Kapuas yang berkelanjutan dan berkeadilan antar generasi," tutur Prigi Arisandi.
Peneliti dari tim ESN ini mengungkapkan, pada Awal 2022 tim ESN telah melakukan penelitian kandungan Mikroplastik di 9 lokasi. Yaitu di Muara pertemuan sungai Landak dan sungai Kapuas (Kapuas 1), Sungai Malaya (Kapuas 2), Parit Lengkong (Kapuas 3), Mega Timur (Kapuas 4), Sungai Tempayan Laut (Kapuas 5) , Ambawang Jl. Kemuning (Kapuas 6), batu Ampar dan Pandan tikar.
Ia menjelaskan, bahwa semua lokasi penelitian menunjukkan adanya kandungan mikroplastik. Jenis mikroplastik yang mendominasi adalah jenis fiber yang umumnya berasal dari benang penyusun tekstil yang terlepas dalam proses pencucian atau laundry.
"Mikroplastik lainnya adalah fragmen atau cuilan yang berasal dari peralatan rumah tangga terbuat dari plastik, botol, sachet dan personal care,” ungkapnya.
Kemudian setelah menyusuri Musi dan beberapa sungai di Kalimantan Barat dari 14-23 Agustus 2022, tim ESN menemukan 5 Faktor pendorong timbunan sampah plastik di Sungai Kapuas.
Pertama, jangkauan layanan sampah oleh Pemkot Pontianak, Kabupaten Sanggau, kabupaten Ketapang dan Pemkab Kubu Raya yang terbatas.
Sehingga sebagian besar masyarakat yang tinggal di tepi sungai tidak punya akses pelayanan membuang sampahnya ke Badan air sungai Kapuas, Pawan dan Landak serta parit-parit di Pontianak
Kedua, minimnya tempat sampah sementara yang ada di Pasar-pasar dan di kelurahan sehingga banyak ditemukan tempat sampah liar di tepi sungai.
Selanjutnya, tidak adanya upaya penegakan hukum (patroli sungai) bagi pelaku pembuang sampah ke sungai sehingga masyarakat bebas membuang sampahnya ke sungai
Ditambah lagi rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk memelihara Sungai Musi, serta masif dan tidak terkontrolnya penggunaan plastik sekali pakai.
"Jika tidak ada upaya serius Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dan Pemkab/Pemkot yang memiliki sungai tercemar mikroplastik, maka akan menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan yang lebih parah dan mahal biaya pemulihannya," tegas Prigi.
Sementara itu Peneliti Mikroplastik, Eka Chlara Budiarti menjelaskan, bahwa mikroplastik yang ada di sungai Kapuas akan membawa dampak pada kesehatan manusia.
Karena polimer mikroplastik seperti polietilena (PE) polipropilena (PP) dan polistirena (PS), termasuk dalam kategori Endocrine disruption chemicals atau senyawa pengganggu hormone.
"Maka dampaknya adalah terjadinya gangguan atau bahkan kerusakan hormone apabila mikroplastik masuk kedalam system metabolism tubuh manusia," tuturnya.
Bahkan dari penelitian pada tahun 2020, kata dia, telah ditemukan fakta bahwa mikroplastik di air sungai mampu menyerap atau mengikat logam berat dalam air seperti Cu dan Pb.
"Mikroplastik dapat mengikat logam berat dalam air, di Sungai terdapat beragam jenis berat berbahaya seperti Merkuri, tembaga, Besi, cadmium dan Mangan. Temuan riset 2020 menunjukkan bahwa mikroplastik sungai Musi mengikat logam Cu dan Pb di air,” ungkapnya.
Alumnus Kimia Universitas Diponegoro Semarang ini menjelaskan, jika terdapat banyak mikroplastik dalam sebuah perairan yang tercemar logam berat, maka akan menimbulkan double efek. Karena mikroplastik akan menyerap logam berat dan kemudian pindah ke tubuh ikan lalu ke tubuh manusia.
"Maka tubuh manusia akan menerima efek bahaya mikroplastik sekaligus logam berat yang menempel di mikroplastik," tandasnya.
Editor : Ali Masduki