SURABAYA, iNews.id - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Yahya Cholil Staquf menuturkan, agama serta identitas-identitas lainnya yang melekat jangan sampai dijadikan senjata politik.
Menurutnya, jika hal itu sampai terjadi maka harmonisasi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara bisa terganggu.
Ia menyebut, sikap toleransi antar sesama dalam perbedaan adalah pemenuhan mandat proklamasi.
“Kita bisa rukun kalau kita punya rasa persaudaraan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Sehingga, kumpulan orang yang berusaha merusak Indonesia harus dibubarkan," tegasnya ketika menjadi pembicara dalam studium generale 2022-2023, di Ubaya Surabaya, Rabu (31/8/2022).
Studium generale bertema “Menakar Indonesia ke Depan: Harmoni Kehidupan Beragama untuk Merawat Indonesia” ini adalah kuliah tamu yang diadakan Ubaya dengan menghadirkan sejumlah tokoh nasional.
Para tokoh tersebut akan memaparkan wawasan dan ide cemerlang dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir menuturkan, bahwa pemimpin negara tidak bisa memimpin dengan visi pribadi, melainkan harus berdasarkan visi kebangsaan.
“Masa depan negara ini ditentukan dari seberapa jauh modal berbangsa dan bernegara yang dimiliki masyarakat. Modal inilah yang harus dibangun, dikembangkan, dan dirawat,” ujarnya.
Ia menambahkan, masyarakat bersama pemerintah harus mempunyai rancang bangun masa depan yang merupakan akumulasi dari politik, ekonomi, agama, dan sebagainya.
Sementara itu Rektor Ubaya, Benny Lianto mengatakan, topik yang dibahas pada studium generale kali ini sesuai dengan visi Ubaya. Yakni ingin mencetak pemimpin nasional yang berkarakter dan memiliki integritas melalui dunia pendidikan.
“Melalui acara ini, Ubaya ingin mengajak mahasiswa, civitas akademika, serta seluruh masyarakat untuk mewujudkan kebhinekaan dan keberagaman potensi bangsa. Ini adalah modal sosial untuk mewujudkan Indonesia maju,” terangnya.
Diskusi bersama Gus Yahya dan Haedar Nashir, dikatakan Benny dapat menghasilkan pemikiran yang holistik apabila masyarakat dihadapkan dengan sejumlah tantangan seperti radikalisme, intoleransi, atau terorisme.
“NU dan Muhammadiyah adalah dua sayap Garuda yang telah teruji komitmennya terhadap 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika,” jelasnya.
Sikap inilah yang ingin Ubaya tekankan kepada para civitas akademika dan masyarakat luas untuk bisa hidup berdampingan dalam perbedaan.
Selama kurang lebih satu tahun kedepan akan digelar forum serupa guna membahas tema besar ‘Menakar Indonesia ke Depan’.
Di tiap bulannya, Ubaya akan mengundang tokoh nasional dan pejabat publik untuk mendiskusikan tema tersebut dari bidang dan sudut pandang pembicara. Materi-materi yang didiskusikan pada kegiatan ini akan didokumentasikan, salah satunya dalam bentuk buku.
Benny berharap melalui studium generale seri tiga, masyarakat dapat memiliki wawasan yang lebih dalam tentang harmoni kehidupan di tengah perbedaan.
“Semoga civitas akademika Ubaya dapat semakin menghayati pesan kebhinekaan. Selain itu, mereka juga dapat menerapkan toleransi antar sesama dan meningkatkan kepedulian untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan bangsa di masa depan,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki