BATU, iNews.id - Peralihan Izin Membangun Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang merupakan bagian dari Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) ternyata belum bisa berjalan.
Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah, mengungkapkan aturan baru tentang perizinan tersebut mengakibatkan para pengembang mengalami stagnasi dan kebingungan. Disisi lain, jumlah anggota Apersi saat ini mencapai 3.500 pengembang. Di Jawa Timur sendiri, ada 300 anggota aktif.
Untuk itu, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) meminta relaksasi izin pembangunan rumah subsidi dan juga rumah non-subsidi.
Menurut Junaidi, dengan adanya PBG yang merupakan amanat UU Cipta Kerja, maka otomatis aturan IMB menjadi gugur.
Hanya saja, antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat belum siap dan tidak sejalan. Apersi berharap ada skema relaksasi PBG yang tidak melanggar hukum.
"Kalau ini tidak dilaksanakan, perkiraan saya satu tahun setengah backlog kebutuhan rumah yang tidak bisa diproduksi," terangnya di sela Rakerda ke-VI Apersi Jatim di Golden Tulip Holland Resort Batu, Kamis (18/11).
Junaidi menjelaskan, aturan dari pemerintah pusat memang tidak mudah diterapkan di sejumlah daerah. Karena selam aini sudah ada peraturan pemerintah daerah yang sudah berjalan. Sehingga perizinan membutuhkan waktu lebih dari setahun karena perubahan aturan ini.
"Perdanya belum ada. Hasilnya banyak anggota kami yang proyeknya tertunda. Untuk membuat Perda itu butuh waktu dan jika PBG belum bisa dilakukan maka produksi unit rumah atau pasokan akan terhambat," tuturnya.
Kata Junaidi, kondisi perekonomian yang sudah membaik dan berjalan kondusif di tengah pandemi sejak awal tahun ini akan percuma jika sektor properti mandek. Sebagaimana diketahui, sektor properti dapat menggerakkan perekonomian dan memiliki efek domino yang mendorong sektor lain bergerak.
Apersi berharap kepada lintas kementerian seperti Kementerian PUPR, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian ATR/BPN, Kementerian Investasi/BKPM yang mengurusi soal ini segera menyelesaikannya.
“Kita sebagai pengembang itu butuh kepastian, kepastian bisnis. Menurut saya, bukan hanya pengembang saja yang terganggu bisnisnya, perbankan pun akan terganggu realisasi penyaluran kredit KPR-nya,” ujarnya.
Ketua DPD Apersi Jatim, Makhrus Sholeh, juga mengakui banyak anggotanya yang mulai bulan Agustus 2021 tidak bisa melakukan penginputan data perizinan karena data error dan ditolak.
"Kami berharap sistem Online Single Submission (OSS) PBG bisa direlaksasi. Jadi, masih ada jeda 6 bulan untuk transisi perizinan berjalan," ucapnya.
Permintaan relaksasi tersebut tidak lepas dari backlog perumahan yang tinggi, sehingga kinerja menurun padahal permintaan per tahun meningkat.
"Anggota kami ada 332 pengembang, dan hampir 80 persen ekspansi perizinan baru tidak jalan. Kami harap pemerintah pusat, kota dan kabupaten memberi solusi relaksasi perizinan," paparnya.
Sementara itu Sekjen DPP Apersi, Daniel Jumali, mengungkapkan hingga Oktober 2021 Apersi mampu menyumbang pembangunan rumah subsidi sebesar 60 persen atau sekitar 103.000 unit terbangun dari target pemerintah pada tahun 2021 sebanyak 178.728 unit rumah.
"103 ribu unit berarti kami dari Apersi membutuhkan dana lebih dari Ro 15 triliun. Dan ada lebih 177 sektor lain dari semen sampai ke Genteng yang terlibat,"urainya.
Hal itu membuktikan, meskipun di masa pandemi properti masih bisa mempekerjakan tenaga kerja. Kata dia, jika ada penundaan pembangunan maka akan berdampak pada banyak sektor.
"OSS sebetulnya bagus, tetapi di lapangan belum sinkron bisa menghambat izin masing masing pemda menunda. Pemerintah juga mengharapkan WFH tetapi tidak ada rumahnya bagaimana," pungkasnya.
Editor : Ali Masduki