Saat Haul Gus Dur 2019, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang _didapuk_ menjadi penceramah, menyampaikan sebuah pidato yang “dalem” tapi dibawakan dengan tuturan yang bersahaja dan riang. Di salah satu bagian ceramahnya, beliau menyatakan bahwa banyak orang yang mengaku Islam, tapi sebetulnya perilakunya tidak mencerminkan ajaran Islam.
Kemudian, beliau membuat pengandaian. Seandainya kita ini hidup sezaman dengan Rasulullah, kita akan menjadi Abu Bakar As-Siddiq yang mengimani Nabi ataukah menjadi Abu Jahal yang mengingkari dan memusuhi Nabi? Bahkan, ketika saat ini kita mengaku beragama Islam dan ke sana ke mari berteriak membela Nabi karena _saking_ semangatnya membela Islam sebagai agama yang dibawa sang Nabi, betulkah kita akan menjadi pengikutnya, seandainya kita hidup sezaman dengan beliau?
Pertanyaan pengandaian ini terasa _“jleb”_ di dada. Mengapa? Karena pertanyaan Gus Mus itu bisa kita perpanjang dengan beberapa pertanyaan reflektif lain. Misalnya, ketika kita ke sana kemari koar-koar membela tauhid sambil menuduh kafir kepada siapa saja yang berbeda, betulkah kita sedang membela tauhid ataukah kita merasa sebagai sang maha benar? Saat kita sedang menyerang ke sana kemari dengan dalih membela Allah, betulkah kita sungguh-sungguh membela Allah ataukah kita sedang menuhankan diri sendiri? Saat kita penuh amarah menghancurkan kelompok lain yang berbeda dengan dalih membela Islam, betulkah kita membela Islam ataukah sedang memuasi nafsu amarah kita sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif inilah yang membuat pengandaian Gus Mus itu terasa sangat menghunjam. Bagi siapa saja, termasuk diri kita yang terbiasa memahabenarkan pendapat sendiri, menuhankan diri sendiri, dan memuasi nafsu-nafsu kita, bahkan ketika kita diberi kesempatan untuk memutar waktu ke satu setengah millennium ke belakang dan hidup bersama Rasulullah, betulkah kita akan menyambut seruang sang Rasul ataukah kita akan berada dalam barisan masyarakat jahiliyah?
Sindiran itulah yang setidaknya saya temukan dalam film _Stand by Me Doraemon 2._ Film animasi Jepang ini mengisahkan Nobita yang telah menjadi seorang pemudah. Sayangnya, Nobita adalah seorang pemuda yang payah. _Saking_ gak mutunya pemuda Nobita ini, hingga dia melarikan diri saat resepsi pernikahannya dengan Shizuka, gadis teman sekolah dan sepermainannya yang sudah dicintainya sejak kecil.
Editor : Arif Ardliyanto