get app
inews
Aa Text
Read Next : Insiden Pergantian Cepat Kapolda Jatim Bukti Sulit Cari Polisi Jujur

Mengenang Sosok Polisi Jujur Hoegeng Iman Santoso

Minggu, 19 Desember 2021 | 11:25 WIB
header img
Hoegeng Iman Santoso (Foto: Arsip)

SURABAYA, iNews.id - Dalam catatan sejarah Indonesia, namanya dikenal sebagai sosok yang terkenal di kalangan masyarakat dan dunia Kepolisian Indonesia. Beliau dikenal sebagai sosok polisi yang jujur dan sederhana walaupun memiliki pangkat tertinggi dalam dunia kepolisian.

Seperti lelucon Gus Dur yang mengatakan bahwa ada tiga polisi yang jujur di Indonesia yakni Patung Polisi, Polisi Tidur dan Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang memiliki integritas penting dalam dinamika sejarah Indonesia. 

Kejujuran Hoegeng yang menjabat sebagai Kapolri dari tahun 1968 hingga tahun 1971 tidak tergoyahkan walaupun saat itu harus berhadapan dengan budaya politik dan lingkungan birokrasi yang korup.

Kejujuran dan keberaniannya dalam menjalankan berbagai tugas yang dimandatkan kepadanya justru yang membuat beliau harus pensiun dini saat usianya masih 49 tahun.. Namun bagi Hoegeng memang baik menjadi orang penting akan tetapi lebih penting menjadi orang baik.

Hoegeng Iman Santoso yang lahir pada tanggal 14 Oktober 1921 di Kota Pekalongan merupakan putra sulung dari keluarga priyayi Amtenar, pasangan Soekarjo Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem. 

Meskipun dari keluarga priyayi perilaku Hoegeng kecil sama sekali tidak pernah menunjukkan kesombongan bahkan dia banyak bergaul dengan anak-anak dari lingkungan biasa. Hoegeng sama sekali tidak pernah mempermasalahkan ningrat atau tidaknya seseoang dalam bergaul.

Hoegeng kecil mengenyam pendidikan dasarnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) pada tahun 1927 dan melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Pekalongan dan selesai pada tahun 1934. 

Setelah lulus dari MULO Hoegeng melanjutkan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS) mengambil jurusan Sastra Barat.

Ayah Hoegeng merupakan seorang yang bekerja sebagai jaksa di Pekalongan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Latar belakang inilah yang kemudian dikemudian hari mempertemukan antara Hoegeng dengan kerabat ayahnya yang bernama Ating Natadikusuma yang merupakan seorang Kepala Polisi Karesidenan Pekalongan. 

Sosok Ating inilah yang menginspirasi Hoegeng untuk menjadi seorang polisi yang kemudian beliau melanjutkan kuliahnya di Recht Hoge School (RHS) di Batavia yang merupakan sekolah hukum di Batavia sebagai dasar untuk melanjutkan ke sekolah Komisaris Polisi di Sukabumi, Jawa Barat.

Seiring berjalannya waktu setelah lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Angkatan Pertama pada tahun 1952 Hoegeng langsung ditempatkan di Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur sebagai Dinas Pengawasan Keamanan Negara. 

Kemudian pada tahun 1956 atau empat tahun setelah berada di Polda Jawa Timur, Hoegeng dipindahkan ke Sumatera Utara dan menjabat sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatera Utara.

Penugasan Hoegeng di wilayah atau bagian korupsi, kriminal, perjudian dan penyelundupan inilah titik awal kisah kejujuran dan integritas Hoegeng yang melegenda dimulai. 

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Kota Medan, Hoegeng langsung disuap sejumlah mobil dan rumah mewah lengkap dengan berbagai perabotnya yang disuguhkan oleh para mafia untuk menyambutnya. 

Hoegeng yang geram dengan suap ini memilih tinggal di hotel dan tidak sudi menerima sedikitpun menyentuh barang-barang milik mafia.

Setelah menyelesaikan tugasnya menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatera Utara pada tahun 1960 Hoegeng dipindahkan ke Jakarta dan dipercaya mengemban berbagai tugas negara salah satunya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. 

 

Selama menjabat sebagai Kepala Imigrasi, Hoegeng murni hanya menerima gaji dari Kepolisian. Seiring berjalannya waktu beberapa bulan sebelum pecahnya tragedy G30S yang terjadi pada tahun 1965, Hoegeng dipercaya oleh Sultan Hamengkubuwono ke-IX menjadi Menteri Iuaran Negara atau yang kini dikenal dengan nama Menteri Keuangan dalam Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno.

Tidak lama kemudian pada tahun 1966 akhirnya Hoegeng Kembali ke kepolisian. Saat ini di kepolisian beliau dipercaya dan menjabat sebagai Deputi Operasi dibawah komando Jenderal Sucipto Judodiharjo. 

Hoegeng yang selalu menyelesaikan tugasnya dengan baik terutama kesuksesan dan kecerdikannya dalam menangani berbagai kasus semasa menjabat sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatera Utara membuat Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Kepala Angkatan Kepolisian atau Kapolri pada tahun 1968.

Tidak lama setelah diangkat menjadi Kapolri oleh Presiden Soeharto, Hoegeng melakukan pembaharuan struktur organisasi di kepolisian. 

Salah satunya yakni dengan mengganti istilah Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) diganti menjadi Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) melalui Keppres No.52 Tahun 1969. Selain itu istilah Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia turut diubah menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI),

Penggantain istilah yang dilakukan oleh Hoegeng bukan tanpa sebab karena dengan seperti ini maka Polri sepenuhnya berdiri sendiri dan bisa menjalankan tugas sepenuhnya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat tanpa adanya intervensi dari Angkatan Bersenjata. 

Selain itu kebijakan Hoegeng yang paling melegenda dan masih bertahan sampai sekarang adalah mewajibkan setiap pengguna sepeda motor untuk mengenakan helm. Kebijakan Hoegeng ini dilakukan karena tingginya angka kematian kecelakaan lalu lintas terutama dari kalangan pengendara sepeda motor.

Selain itu karena seringnya Hoegeng terjun ke lapangan melihat langsung kondisi yang ada membuat beliau tersadar bahwa betapa pentingnya helm saat berkendara. 

Kebijakan Hoegeng ini sempat mendapatkan kecaman dari sebagian masyarakat karena dianggap kotroversi yang mana Hoegeng dianggap telah mengintervensi hak dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) walaupun sebagian pihak banyak yang menolak kebijakan ini. 

Namun karena pertimbangan Polri yang saat itu dibawah kendali Hoegeng, beliau tetap menerapkan kebijakan tersebut karena bagi Hoegeng keselamatan rakyat adalah yang paling penting dan paling utama. 

Sebagai sosok pengayom dan pelindung bagi masyarakat, Hoegeng yang saat itu memegang jabatan tertinggi dalam dunia kepolisian dinilai oleh sejumlah kalangan mampu mencerminkan penegak hukum yang dekat dengan masyarakat.

Selain aktif dan terbuka untuk pers, Hoegeng juga aktif dalam dunia music. Keaktifan Hoegeng dalam bermain music The Hawaian Senior membuat beliau dijuluki “The Singing General”. 

Dengan memakai seragam lengkap serta memainkan alat musik, Hoegeng berhasil menghapus kesan sangar yang biasa melekat pada aparat kepolisian.

Kepemimpinan Hoegeng yang dikenal sebagai seorang polisi yang jujur, integritasnya diuji dari berbagai macam kasus yang beliau tangani. Sosoknya yang tidak mudah disuap seolah menjadi suatu penentang pada masa kepemimpinan rezim Orde Baru saat itu. 

Salah satu kasus besar yang ditangani oleh Hoegeng adalah penyelundupan mobil mewah oleh Robby Tjahjadi yang terjadi pada tahun 1968 dan kasus pemerkosaan Sum Kuning yang terjadi pada tahun 1970.

Kasus-kasus besar yang ditangani oleh Hoegeng ini sempat terhalang oleh ketidakadilan. Dikarenakan yang terlibat dalam kasus ini diantaranya adalah para mafia hingga pejabat elit rezim Orde Baru. 

Bahkan karena kasus inilah membuat Hoegeng dicopot dari jabatan kepolisian hingga berbagai pencekalan bagi diri beliau dan keluarga beliau.

Kata-kata Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang melegenda dan identik dengan sosok beliau adalah:

“Selesaikan tugas dengan kejujuran karena kita masih bisa makan nasi dengan garam”


(Penulis : Oktavianto Prasongko)

Editor : Ali Masduki

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut