SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Tradisi kentongan sangat terlihat di bulan Ramadan. Namun dalam riset yang dilakukan Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Dr Sarkawi B Husain SS MHum, tradisi tersebut tidak diketahui awal mulanya.
“Tidak ditemukan catatan sejarah tentang awal tradisi kentongan untuk membangunkan masyarakat muslim untuk sahur. Akan tetapi dugaan saya, tradisi tersebut sudah ada sejak masuknya Islam di Indonesia,” katanya,di Surabaya, Selasa(11/4/2023).
Kepala Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga itu menyampaikan bahwa tradisi kentongan yang ada di Indonesia ini tidak memiliki hubungan secara langsung dengan tradisi yang ada di Timur Tengah. Meski demikian, Timur Tengah memiliki tradisi sendiri dalam membangunkan orang sahur, yaitu azan.
“Tradisi ini tidak memiliki hubungan secara langsung dengan daerah Timur Tengah. Namun secara tidak langsung tradisi membangunkan sahur sudah dikenal sejak zaman Rasulullah dengan media yang berbeda, yakni azan,” ucap Sarkawi.
Meskipun hampir seluruh wilayah Indonesia melakukan tradisi tersebut dengan tujuan yang sama, namun tidak semua wilayah memiliki nama tradisi yang sama. Misalnya, tradisi ngarak beduk di Jakarta dan tradisi bagarakan sahur di Banjar, Kalimantan Selatan.
“Masing-masing daerah memiliki tradisinya masing-masing. Masyarakat Jakarta misalnya, tradisi ngarak beduk atau beduk sahur sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Di daerah Banjar, Kalimantan Selatan, misalnya, dikenal tradisi bagarakan sahur yang sudah ada sejak Islam masuk di daerah Banjar. Tradisi tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana seperti panci, galon air, atau radio,” jelasnya.
Tradisi kentongan dalam membangunkan orang sahur ini menciptakan respons dari berbagai masyarakat. Bagi masyarakat muslim khususnya masyarakat desa atau kampung, tradisi ini bermanfaat dalam membangunkan mereka untuk sahur. Mereka juga antusias menyambut bulan suci dengan melakukan tradisi tersebut.
Namun, tradisi ini dapat mengusik ketenangan masyarakat non-muslim. Mereka terpaksa harus bangun lebih pagi dari pada biasanya karena suara bising yang mereka dapatkan.
“Bagi masyarakat non-muslim tentu ini agak mengganggu karena terpaksa terbangun akibat suara bising, padahal mereka tidak hendak sahur,” ungkap Sarkawi.
Saat ini, tradisi kentongan sahur ini masih relevan hanya di beberapa tempat, salah satunya adalah desa atau kampung. Tempat tersebut masih relevan dalam menerapkan tradisi kentongan sahur karena faktor homogenitas penduduk dan teknologi.
“Bagi masyarakat yang homogen seperti di desa atau kampung, tentu ini masih sangat relevan. Apalagi di kampung, tentu ada keluarga yang tidak memiliki teknologi seperti HP yang dapat digunakan untuk alarm,” jelas Sarkawi.
Namun, tradisi ini tidak terlalu relevan jika diterapkan di perkotaan. Mereka merupakan masyarakat yang beragam, tidak semuanya beragama Islam, dan penggunaan teknologi yang sudah maju dalam membangunkan orang sahur.
Editor : Arif Ardliyanto