Terjadi beberapa kali di mana Pesantren Gading merayakan Lebaran berbeda dengan yang diputuskan pemerintah. Apakah terjadi kegaduhan dengan masyarakat sekitar? Selama saya menjadi santri dulu sampai sekarang tidak pernah mendengar ada peristiwa kegaduhan apapun, baik dengan alasan sosial maupun agama. Semua berjalan baik-baik saja.
Biasanya yang ikut jamaah shalat _Id_ di pesantren ini adalah para santri dan masyarakat sekitar yang mengakuinya. Hasil _hisab_ hanya berlaku bagi internal pesantren. Sekalipun demikian, tak ada keharusan juga bagi setiap santri untuk mengikutinya. Sekalipun sebagian besar santri Gading akan mengikuti keputusan 1 Syawal pesantren daripada pihak lain, termasuk pemerintah.
Apakah mereka tidak tahu hadits Bukhari _"shumu li ru'yatihi wa'fthiru li ru'yatihi"_ (berpuasalah [dengan patokan] melihat _hilal_ dan akhirilah berpuasa [juga dengan patokan] melihat _hilal_? Mereka pasti tahu, bahkan hafal. Tapi sejauh yang saya tahu, hampir tidak ada perdebatan tentang _hisab_ dan _ru'yah_ di kalangan santri senior yang kalau musyawarah kitab sangat mendalam ilmunya. Bagi mereka, mengikuti pandangan kiai juga adalah jaminan kebenaran dalam beragama. Khas _ketawadhu'an_ santri-santri NU kepada kiainya.
Saya masih ingat sebuah peristiwa ketika NU memutuskan Idul Fitri berbeda dengan keputusan pemerintah (tahun tepatnya lupa, mungkinn1992 ataun1993). Kabar keputusan NU ini sangat telat tiba di desa saya. Pagi itu sekitar pukul 7 ayah memutuskan untuk shalat Id. Ayah saya adalah seorang kiai NU. Kecuali beberapa keluarga Muhammadiyah, semua orang di desa akhirnya membatalkan puasa dan melaksanakan shalat Idul Fitri saat itu juga, sekalipun sudah agak siang.
Editor : Arif Ardliyanto