Sementara Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, Renitasari Adrian menuturkan, legenda urban merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia. Titimangsa menghidupkan kembali kisah awal Si Manis Jembatan Ancol serta memadukannya dengan masa kini sehingga memberikan pengalaman yang berbeda kepada para penonton.
"Pementasan ini juga menjadi kebanggaan bagi kami karena melibatkan Gusty Pratama yang sebelumnya berhasil lolos audisi online untuk peran utama sebagai Maing dalam Serial Musikal Payung Fantasi. Ia terpilih untuk bergabung dengan aktor panggung lainnya dalam produksi Titimangsa ini membuktikan kemampuan dan bakatnya dalam seni pertunjukan Indonesia," kat dia.
"Kami mengapresiasi Titimangsa yang selalu menggandeng berbagai pekerja seni untuk tampil dan menyajikan perspektif baru dalam panggung teater sehingga menjangkau khalayak luas untuk lebih dekat dengan seni pertunjukan Indonesia,” imbuh Renitasari Adrian.
Pementasan ini diawali tahun 1817-an di mana Ariyah, seorang wanita yang menjadi jaminan utang ibunya kepada Juragan Tambas. Namun, ketika mereka tidak bisa membayar utang, Ariyah terpaksa menjadi istri muda si Juragan.
Hal ini mendapat pemberontakan dari kekasihnya Karim yang akhirnya berujung pada tragedi dan kematian keduanya.
Mayat Ariyah dibuang dari Jembatan Ancol, sedangkan mayat Karim tidak diketahui keberadaannya. Ariyah yang tidak pernah merasa dirinya mati akhirnya gentayangan mencari kekasihnya. Ia juga gentayangan karena tak sempat meminta maaf dan berpamitan pada ibunya setelah usulnya menjadi jaminan utang berakhir petaka.
Di masa kini, Ariyah yang gentayangan bertemu bersama dengan Yulia, Yudha, dan Tante Mus yang berusaha menghadapi mafia tanah bernama Bos Mintarjo yang mengancam rumah mereka.
Dalam prosesnya, hubungan masa lalu dan aroma kayu manis menjadi kunci dalam memecahkan misteri yang melibatkan cinta, dendam, dan keberanian. Perjumpaan yang tak kunjung ada, perpisahan dengan orang-orang tercinta dan perasaan bersalah adalah hantu yang sesungguhnya.
Naskah yang ditulis oleh Kurnia Effendi ini ditampilkan di atas panggung dengan arahan sutradara Joned Suryatmoko dan Heliana Sinaga.
“Pengalaman kita dengan cerita hantu sangat beragam dan semakin termediasi dalam budaya populer mulai dari komik, novel, film hingga video di media sosial. Berlimpahnya bahan tentang cerita ini seringkali menumpulkan kepekaan kita pada hantu itu sendiri," ungkap Joned Suryatmoko yang berperan sebagai Sutradara dan Direktur Artistik.
Pementasan Ariyah ingin memunculkan kembali pengalaman bertemu dengan cerita hantu itu lewat medium langsung di atas panggung teater.
"Lebih dari pada itu, pementasan Ariyah memberi kita waktu untuk memikirkan ulang siapa dan apa sebenarnya hantu yang ada dalam kehidupan modern sekarang ini,” ucapnya.
Ariyah dari Jembatan Ancol merupakan pertunjukan yang berbasis legenda urban dilandasi oleh gagasan solidaritas/persaudaraan sesama perempuan.
Teks dan pemanggungannya hilir mudik antara masa lalu dan masa kini, namun saling berkelindan membuat pertunjukan ini menjadi lebih dinamis dan intens.
"Kita merayakan kerja-kerja keaktoran yang memiliki latar belakang disiplin dan metode keaktoran yang berbeda: realis, tubuh, musikal dan komedi; berkolaborasi dengan seluruh tim yang terlibat,” tambah Heliana Sinaga sebagai Sutradara.
Editor : Ali Masduki