SURABAYA, iNewsSurabaya.id - PT Multisarana Intan Eduka (MSIE) Tbk bersama IPH Schools menghadirkan Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi atau GKR Mangkubumi.
Puteri Mahkota Kasultanan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut diundang khusus dalam Talk Show “Mengenal Kasultanan Yogyakarta dan Budaya Jawa”, dalam rangkaian acara Culture Fair Embracing Difference "The Strength of Diversity" di PGKG Building IPH Schools, Jalan Pattimura, Surabaya, Senin (16/10/2023).
Coorporate Secretary MSIE, Nesti Sunaryo mengatakan acara ini diselenggarakan sekaligus dalam rangka memperingati Hari Batik Nasional serta Bulan Bahasa dan Sastra.
"Hal ini dimaksudkan bahwa IPH Schools sebagai sekolah internasional tidak meninggalkan identitasnya sebagai warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan budaya," katanya.
Untuk mewujudkan harmoni dan kemajuan bersama, maka perlu untuk memahami dan merayakan perbedaan. Inilah inti dari tema Culture Fair tahun ini: "Embracing Differences: The Strength of Diversity".
Sebagaimana GKR Mangkubumi bercerita tentang keragaman budaya di Yogyakarta sebagai kota pelajar. Banyak didatangi pendatang dengan berbagai latar belakang kebudayaan. Lebih dari 22 provinsi. Keberagaman itu indah. Mereka hidup berdampingan bersama warga lokal dan saling menghormati.
Di Yogyakarta, ada Ikatan Keluarga Mahasiswa Budaya. Organisasi ini melestarikan budaya masing-masing. Mereka kerap menyelenggarakan acara seni budaya daerah asal. Meskipun tinggal dan menetap di Yogya, mereka tidak kehilangan jati diri. Namun, mereka juga harus mempelajari budaya-budaya di Yogyakarta.
Selama menempuh pendidikan di Yogyakarta, para mahasiswa maupun pelajar itu bukanlah tamu maupun wisatawan. Mereka adalah bagian dari keluarga yang ada di provinsi tersebut. Duduk bersama warga masyarakat.
Culture Fair mengajak semua orang untuk memahami bahwa kekuatan sesungguhnya terletak pada perbedaan yang ada di antara kita. Kulit yang berbeda, keyakinan yang berbeda, bahasa yang berbeda.
"Semua ini adalah komponen yang memperkaya dan memperkuat masyarakat global kita," ucapnya,
Acara Culture Fair turut menampilkan beragam aktivitas, termasuk gerak dan lagu dalam Bahasa Jawa. Tujuannya adalah untuk semakin mengenal kebudayaan Jawa khususnya.
Seperti pepatah lama menyebutkan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Bahwa sudah sepatutnya menghormati atau mengikuti adat istiadat yang berlaku di tempat kita tinggal.
"Mari kita bersatu dalam semangat "Embracing Differences: The Strength of Diversity" dan membentuk masa depan yang inklusif, adil, dan harmonis untuk semua. Bersama, kita dapat membuktikan bahwa keberagaman adalah kekuatan sejati yang menggerakkan kita maju," tuturnya.
Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I. Nagari Yogyakarta diakui sebagai sebuah negara sejak lama oleh dunia hingga kemudian bergabung dengan Indonesia.
Ngayogyakarta sekarang berusia sudah lebih dari 250 tahun alias 2,5 abad. Keraton berdiri 1755 dan berdiri sebagai negara sendiri.
Pada 18 Agustus 1945 masa kemerdekaan, Nagari Yogyakarta bergabung dengan Indonesia. Soekarno-Hatta menyatakan bahwa Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 5 September 1945.
Keraton Yogyakarta memiliki sister province dan sister city kurang lebih dengan 17 negara. Termasuk baru-baru ini mendapat kunjungan silaturahmi Kaisar Jepang. Yogya dan Jepang memiliki hubungan bilateral sejak dulu kala. Jauh sebelum bergabung dengan Indonesia.
Kini Yogyakarta telah menjadi bagian Republik Indonesia dengan keragaman dan kekayaan budaya. Tetap lestari dan abadi.
Pada September 2023, UNESCO bahkan telah menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia dalam Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia atau World Heritage Committe (WHC) di Riyadh, Arab Saudi, Senin (18/9) malam waktu Indonesia.
Sumbu Filosofi Yogyakarta sah diterima sepenuhnya tanpa sanggahan menjadi Warisan Budaya Dunia sesuai dokumen penetapan WHC 2345.COM 8B.39.
Sumbu Filosofi Yogyakarta diakui sebagai warisan dunia bertajuk “The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks”. Sumbu Filosofi Yogyakarta dinilai memiliki arti penting secara universal.
Pembangunan Yogyakarta pertama kali dirancang oleh Sultan Hamengku Buwono I dengan landasan filosofi yang sangat tinggi. Sultan Hamengku Buwono I menata Kota Yogyakarta secara membentang dari arah utara ke selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.
Selain itu, Sultan juga mendirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih) dari sisi utara keraton dan Panggung Krapyak di sisi selatannya.
Dari ketiga titik tersebut, apabila ditarik garis lurus, akan membentuk sumbu imajiner atau yang dikenal dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta.
GKR Mangkubumi menuturkan, Sumbu Filosofi Ngayogyakarta terdiri beberapa titik. Pertama, monumen berupa tugu. Memiliki makna bahwa sebagai manusia tidak boleh lupa akan Tuhan. Tugu bukan hanya sekadar bundaran jalan di tengah kota.
Sementara Keraton adalah tempat pemerintahan berlangsung dan bangunan panggung rakyat di bagian belakang merupakan simbol bahwa masyarakat di dalamnya adalah masyarakat religius. Ujung dari semua pilar itu bermuara di Gunung Merapi dan titik selatan adalah pantai selatan.
Pada kesempatan ini, GKR Mangkubumi juga banyak bercerita tentang masa kecilnya di lingkungan keraton. Terutama adat di dalamnya.
GKR Mangkubumi mengaku numpang lahir di Ciawi Bogor. Pada waktu itu, ibu GKR Mangkubumi menemani sang ayah bertugas. Karena ia merupakan satu-satunya anak perempuan dari tujuh bersaudara. GKR Mangkubumi lahir pada tahun 1972.
Pada usia enam tahun, GKR Mangkubumi tinggal di luar keraton. Pada tahun 1988, ayahnya dinobatkan sebagai pengganti kakaknya. Kemudian GKR Mangkubumi baru tinggal di keraton.
"Dahulu, budaya-budaya keraton sangat tertutup. Tapi dengan perkembangan zaman kita ingin budaya kita diwartakan untuk pendidikan, kebetulan adik saya yang nomor empat sekolah bidang IT dan kini mengelola media-media tentang keraton," ungkap GKR Mangkubumi.
Digitalisasi dan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Namun, jangan sampai teknologi mengontrol kehidupan manusia. Demikian sekelumit pesan GKR Mangkubumi kepada para siswa siswi.
"Kita menggunakan teknologi untuk mempermudah namun jangan sampai kita dikuasai teknologi," ujarnya.
Ia masih memiliki mimpi besar agar DIY menjadi World Heritage. "Karena kita nggak kalah sama Eidenberg, kita nggak kalah sama Kyoto, kita nggak kalah sama Kazan di Rusia," katanya.
Yogyakarta adalah kawasan heritage atau bersejarah. GKR Mangkubumi berharap kawasan heritage ini jangan sampai hilang ditelan zaman. "Kalau sampai hilang, berarti kita juga akan kehilangan asal usul kita," tandasnya.
Talkshow berlangsung sangat hangat. Para siswa nampak senang mengikuti kisah GKR Mangkubumi tentang kehidupan keraton. Mereka memakai baju adat daerah beragam. Dari Sabang sampai Merauke.
Mereka tertarik mengikuti kisah-kisah Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawana Langgeng ing Mataram. Nama lengkap GKR Mangkubumi.
Istri dari Pangeran Wironegoro tersebut pernah menimba ilmu di SMA BOPKRI 1 Yogyakarta sebelum akhirnya pindah sekolah ke Singapore di International School of Singapore.
Setelah Lulus SMA, dia melanjutkan pendidikan di beberapa college di California, sebelum akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Griffith University Brisbane, Queensland, Australia. Jajaran 50 universitas terbaik di dunia berdasarkan QS World University Rankings.
Berbekal pendidikan tinggi, GKR Mangkubumi telah berpengalaman sebagai ketua dalam berbagai organisasi kemasyarakatan sejak tahun 2002 hingga saat ini. Beberapa di antaranya masih aktif.
Selain itu, putri raja ini memiliki jiwa sosial tinggi dan menginspirasi banyak orang. GKR Mangkubumi pernah menjabat sebagai Ketua Karang Taruna DIY selama 10 tahun (2002-2012). Dia juga dikenal aktif terlibat dalam berbagai kegiatan kepemudaan.
Antara lain bekerjasama dengan BKKBN dalam mengatasi masalah kesehatan reproduksi remaja. GKR Mangkubumi bahkan pernah mengajukan proposal branding Yogyakarta sebagai provinsi cyber pertama dan mengajukkan pada The Education World Forum 2012 di Gedung The Queen Elizabeth II Conference Center London, Inggris.
Jiwa sosial GKR Mangkubumi juga terlihat ketika memperjuangkan dan memberdayakan wanita-wanita di desa sehingga ia menerima gelar 'Sunsilk Unbreakable Woman' atau 'Wanita Tak Terpatahkan pada 2007 karena tak pernah berhenti memberikan semangat dan menginspirasi perempuan Indonesia.
Tahun 2013 ia meraih penghargaan Aditya Karya Mahatua Yodha Awards, serta tahun 2018 mendapatkan penghargaan Women Empowerment Awards di Singapura.
GKR Mangkubumi juga menerima gelar Doktor Honoris Causa dari salah satu kampus Amerika Serikat, Nothern Illinois University (NIU) untuk bidang humane letters atau sosial budaya pada Juni 2023 kemarin.
Gelar ini layak diberikan kepada GKR Mangkubumi karena memiliki peran signifikan dalam berbagai bidang. Mulai filantropi, pengelolaan pendidikan dan kebudayaan, pelestarian lingkungan, kepemudaan hingga pemberdayaan perempuan dalam pembangunan.
Selain kegiatan pemberdayaan, GKR Mangkubumi aktif menyelamatkan satwa yang hampir punah seperti orang utan dan Elang Jawa. Ia adalah Pembina Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta dan bergabung dalam Pusat Penyelamatan Satwa Jogya (PPSJ) Kulonprogo dan pernah bekerjasama dengan lembaga sosial dan media dari Luxembourg.
Sedangkan dalam berbagai organisasi, GKR Mangkubumi aktif menempati posisi berpengaruh. Menjadi ketua dan wakil ketua belasan organisasi.
Beberapa di antaranya sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Karang Taruna (MPKT) DIY, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia DIY, Asosiasi Masyarakat Persuteraan Alam Liar Indonesia dan DPD KNPI DIY, Ketua KADIN DIY, Ketua Pembina Yayasan Royal Silk dan Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Daerah Istimewa Yogyakarta (Kwarda DIY) masa bakti 2020-2025. Periode ini merupakan kali kedua bagi GKR Mangkubumi memimpin Kwarda Pramuka DIY.
Atas latar belakang mengagumkan itu, PT Multisarana Intan Eduka (MSIE) Tbk bersama IPH Schools sengaja menginisiasi acara bertemakan budaya dengan menghadirkan Dr. (H.C.) GKR Mangkubumi langsung berinteraksi dengan para siswa-siswi.
Editor : Ali Masduki