"Selama ini dosen-dosen tidak diam, ada forum rektor di perguruan tinggi, ketika tidak banyak direspon, kenapa kita turun, karena kita melihatnya secara partai - partai oposisi tidak mengambil peran, dan tidak mengambil bagian. Yang terjadi sekarang kelompok oposisi menjadi bagian yang menikmati," tuturnya.
Menurutnya, lembaga-lembaga negara formal yang menjadi kontrol, DPR, RI, DPRD, juga menjadi hal yang sama, sehingga pergerakannya didasari seruan moral. Apalagi etika moral menjadi landasan pada perundang-undangan Tap MPR RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, telah tegas menyatakan kita mengalami kurangnya keteladanan dalam sikap, dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa.
"Indonesia krisis keteladanan, krisis etika, krisis hukum dan krisis multidimensi. Etika merupakan basis fundamental dalam proses terbentuknya suatu bangsa, dan merupakan suasana kerohanian bagi bangsa dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, runtuhnya etika berbangsa, maka akan membawa akibat pada runtuhnya bangsa tersebut," paparnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang ini menambahkan, bila etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
"Telah terjadi gejala kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang tampak dari gejala praktik penyalahgunaan kewenangan, dan kekuasaan. Mendekati hari H Pemilu kekuasaan digunakan untuk kepentingan politik praktis, yang menggerus demokrasi Indonesia rendahnya sikap kenegarawanan mulai dari Presiden, Mahkamah Konstitusi, bahkan para ketua Partai dan Para Capres dan Cawapres, yang menunjukkan perendahan etika budi luhur bangsa yang cenderung melakukan perundungan politik berbangsa bernegara," jelasnya.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta