Penjara Semarang, Kalisosok Surabaya dan Cipinang Jakarta, semuanya pernah ia tembus. Untuk membersihkan namanya, Kusni sempat menyusup ke kapal laut yang hendak berlayar dari Tanjung Perak Surabaya menuju Manado. Ia bermaksud bergabung menjadi sukarelawan perang melawan pemberontak PRRI Permesta. Namun gagal.
Kusni kembali merasakan udara pengap penjara. Ia mengalami keputusasaan dalam hidup. Di penjara Kusni masuk Katolik dengan nama baru Ignatius Waluyo. Ia merasa terlahir kembali menjadi manusia. "Apakah sesungguhnya yang kukejar selama ini? Harta?. Telah kuserahkan di Madiun. Tujuh kilo emas-berlian. Uang? Telah kuhamburkan di Surabaya dan telah sia-sia. Di Semarang. Kehormatan? Kakiku adalah medali yang tak tercabut kekuasaan? Apakah itu? Apakah itu?," tanya Kusni seperti ditulis Parakitri dalam buku "Kusni Kasdut".
Kusni Kasdut, sosok pejuang kemerdekaan yang harus rela menjadi perampok demi sesuap nasi
Revolusilah yang mengajarnya merampok. Kusni sempat bertanya-tanya. Apa bedanya merampok di Gorang Gareng Madiun dengan museum negara. Apa bedanya merampok keluarga Tionghoa, keluarga Indonesia dan merampok museum milik rakyat Indonesia?.
"Dia sampai kepada kesimpulan dan keyakinan penuh bahwa tidak ada bedanya. Berlian adalah berlian. Merampok adalah merampok," tulis Daniel Dhakidae dalam "Menerjang Badai Kekuasaan".
Pada 10 November 1979, Presiden Soeharto menolak permohonan grasi Kusni Kasdut. Hari itu tanggal 6 Februari 1980. Eksekusi atas vonis hukuman mati oleh regu tembak dilaksanakan. Kusni Kasdut menghembuskan napas terakhir dengan tiga peluru menembus dada dan lima peluru bersarang di perut. Kusni meninggalkan dua anak dan seorang istri serta seorang mantan istri.(Berita ini telah ditulis iNews.id)
Editor : Arif Ardliyanto