get app
inews
Aa Text
Read Next : Tangisan Admin Medsos Wali Kota Surabaya Viral, Akui Candaan di Live IG Jadi Bumerang, Begini Isinya

Pro-Kontra Pinjaman Rp452 Miliar Surabaya: Peluang atau Beban? Ini Analisisnya

Rabu, 06 Agustus 2025 | 15:42 WIB
header img
Nurleila Jum'at, S. PSI., MM., M. PSI., Psikolog Dosen Program Studi Manajemen, Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Wijaya Putra. Foto iNewsSurabaya.id/ist

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Beberapa waktu terakhir, Surabaya kembali mencuri perhatian. Bukan karena festival besar atau trotoar instagramable-nya, tapi karena satu langkah yang cukup berani: Wali Kota Surabaya mengajukan pinjaman daerah sebesar Rp452 miliar.

Angka itu tentu tidak kecil. Di tengah perlambatan ekonomi global yang bahkan menyentuh jantung kota-kota besar seperti Surabaya yang biasanya tahan banting muncul pertanyaan wajar: Kenapa harus berutang? Tapi justru di situlah menariknya. Karena kalau ditilik lebih dalam, pinjaman ini bukan semata-mata untuk pembangunan fisik. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk membangun yang lebih mendasar: manusia.

Dalam kerangka ekonomi tradisional, kita terbiasa melihat pembangunan sebagai proyek fisik: jalan diperlebar, drainase dibenahi, lampu jalan dipasang. Tapi, apakah hanya itu makna pembangunan? Di era sekarang, pembangunan tidak bisa hanya diukur dengan panjang jalan, tapi sejauh apa manusia di dalam kota itu ikut bertumbuh.

Saya teringat pada teori Gary Becker, peraih Nobel yang menekankan bahwa pembangunan sejati adalah investasi pada manusia human capital. Maka pertanyaan pentingnya adalah: apakah Rp452 miliar ini hanya akan menjadi beton dan aspal, atau juga akan menjadi ruang kerja bagi anak muda Surabaya yang butuh pekerjaan?

Kalau proyek ini padat karya lokal, melibatkan tenaga kerja muda yang selama ini hanya jadi penonton pembangunan, maka inilah saatnya mengubah narasi: dari membangun kota menjadi membangun warga kota.

Utang Boleh, Asal Ada Skema Pengembalian yang Adil

Sebagian pihak mungkin skeptis. Pinjaman berarti utang. Dan utang bisa jadi beban jangka panjang. Tapi utang tidak selalu buruk. Dalam laporan Bank Dunia tahun 2023, pinjaman publik bisa menjadi katalis pertumbuhan ekonomi—asal digunakan dengan cerdas dan diawasi dengan ketat.

Daripada menambal APBD dengan menaikkan pajak, mengapa tidak memaksimalkan kekuatan lokal? Peningkatan kapasitas ASN, digitalisasi pelayanan publik, pemberdayaan UMKM berbasis teknologi—semuanya adalah peluang untuk menciptakan sumber pendapatan baru, tanpa harus menyentuh dompet rakyat secara langsung.

Apalagi jika sektor swasta dilibatkan secara strategis. Bukan sebagai penonton, tapi sebagai partner dalam skema public-private partnership yang adil. Apakah ada insentif bagi investor yang menyerap tenaga kerja lokal? Apakah proyek yang didanai pinjaman ini bisa membuka jalan bagi ekonomi kreatif tumbuh? Jika iya, pinjaman ini justru jadi investasi sosial.

Sebagai warga yang hidup dan tumbuh di Surabaya, saya berharap pemerintah kota tidak terjebak pada pembangunan yang hanya kasat mata. Infrastruktur yang hebat itu bagus. Tapi akan jauh lebih hebat jika proyek itu juga meng-upgrade kualitas manusia di dalamnya.

Bayangkan jika setiap proyek infrastruktur melibatkan program magang bagi lulusan SMK, pelatihan green skills bagi pekerja informal, atau bahkan membuka peluang bagi warga ikut berinvestasi lewat crowdfunding proyek kota. Itulah pembangunan modern—berbasis kolaborasi, bukan sekadar kontraktor.

Transparansi juga tidak bisa ditawar. Pemkot bisa menggunakan dasbor digital publik, tempat warga bisa melihat progres proyek, siapa yang bekerja, dan bagaimana uang digunakan. Ketika warga tahu bahwa pinjaman ini juga "pinjaman masa depan mereka", maka kontrol sosial akan tumbuh alami. Bukan curiga, tapi partisipatif.

Saya bukan ekonom, bukan pula pejabat. Tapi sebagai warga, saya percaya bahwa keputusan mengambil pinjaman sebesar ini bukan langkah kecil. Ini adalah ujian besar bagi manajemen kota. Tapi juga peluang lebih besar untuk mengubah arah pembangunan—dari beton ke manusia, dari jalan raya ke jalan karier.

Wali Kota dan jajarannya punya peluang emas untuk menuliskan sejarah: bahwa Surabaya tidak hanya membangun kota, tapi membangun manusia. Dan dari situ, pertumbuhan akan jauh lebih tahan lama daripada sekadar proyek yang selesai pada tahun anggaran.

Penulis :

Nurleila Jum'at, S. PSI., MM., M. PSI.,

Psikolog Dosen Program Studi Manajemen, Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia,

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Wijaya Putra

 

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut