get app
inews
Aa Text
Read Next : Siapa Adies Kadir? Wakil Ketua DPR RI Kontroversi, Kekayaannya Rp11,17 M dan Tak Punya Utang

DPR, Tunjangan, dan Amarah Jalanan: Cermin Kerapuhan Demokrasi

Selasa, 02 September 2025 | 06:08 WIB
header img
Dr. Budi Endarto, S.H., M.Hum.Rektor Universitas Wijaya Putra (UWP). Foto iNewsSurabaya/ist

SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai daerah pada akhir Agustus 2025 bukan sekadar catatan sejarah baru, tetapi juga potret hubungan yang masih belum sehat antara rakyat dengan para wakilnya di Senayan. Bermula dari kebijakan kenaikan tunjangan DPR RI dan diperparah dengan pernyataan nir-empati dari sejumlah politisi, publik akhirnya meluapkan kekecewaan lewat aksi jalanan.

Tragedi yang menewaskan seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, setelah tertabrak kendaraan taktis Brimob di depan Gedung DPR/MPR RI, menjadi titik balik yang menyulut emosi massa di seluruh Indonesia. Demonstrasi yang awalnya bernuansa damai berubah menjadi rentetan kericuhan: pembakaran gedung, perusakan fasilitas publik, hingga penjarahan rumah pejabat negara.

Fenomena ini mengingatkan kita pada satu hal penting: demonstrasi adalah hak, tetapi hak yang penuh tanggung jawab.

Konstitusi kita, melalui Pasal 28 UUD 1945, dengan jelas menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Bahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 mempertegas aturan mainnya, sekaligus melindungi rakyat agar tidak dihalang-halangi dalam menyuarakan aspirasi.

Namun, sering kali masyarakat lupa bahwa hak tidak pernah berdiri sendiri. Ada batasan moral, hukum, dan kepentingan publik yang harus dijaga. Pasal 28J UUD 1945 mengingatkan bahwa kebebasan individu harus dijalankan tanpa merampas hak orang lain. Artinya, demonstrasi sah-sah saja, tetapi membakar gedung DPRD, merusak halte, atau menjarah rumah pejabat jelas menyalahi prinsip demokrasi.

Tak bisa dipungkiri, demonstrasi besar ini merupakan akumulasi kekecewaan publik terhadap elite politik yang dianggap tidak peka. Rakyat marah bukan hanya soal angka tunjangan, melainkan karena merasa dipermainkan oleh sikap pejabat yang jauh dari realitas kehidupan sehari-hari masyarakat kecil.

Sayangnya, kemarahan yang tidak terkendali justru berbalik merugikan rakyat sendiri. Fasilitas umum yang rusak pada akhirnya dinikmati masyarakat luas. Gedung bersejarah yang terbakar hilang nilainya bagi generasi mendatang.

Di sinilah letak persoalan: bagaimana menyalurkan aspirasi tanpa berubah menjadi anarkisme?

Di sisi lain, aparat penegak hukum juga punya tanggung jawab besar. Mengawal demonstrasi seharusnya dilakukan dengan pendekatan humanis dan persuasif, bukan dengan tindakan represif yang justru memperkeruh keadaan. Tragedi Affan Kurniawan adalah contoh nyata bahwa kekerasan hanya melahirkan luka baru dalam hubungan negara dan rakyat.

Polisi idealnya berdiri sebagai pengayom, bukan sekadar penjaga ketertiban dengan tameng dan gas air mata. Demokrasi hanya bisa sehat jika ruang ekspresi rakyat dijaga dengan adil, terukur, dan profesional.

Demonstrasi adalah cermin demokrasi. Ia menjadi pengingat bahwa rakyat bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek yang berhak mengontrol jalannya pemerintahan. Namun, kebebasan ini akan kehilangan makna jika berubah menjadi aksi vandalisme.

Ke depan, kita perlu membangun budaya protes yang lebih beradab. Rakyat menyuarakan kritik dengan tertib, aparat mengawal dengan sabar, dan pejabat publik menanggapi dengan rendah hati. Jika ketiganya berjalan beriringan, demokrasi Indonesia akan semakin matang.

Karena pada akhirnya, demonstrasi bukan hanya tentang melawan, melainkan juga tentang menjaga—menjaga hak, menjaga martabat, dan menjaga masa depan bangsa.

Penulis : 

Dr. Budi Endarto, S.H., M.Hum.

Rektor Universitas Wijaya Putra (UWP)

 

Editor : Arif Ardliyanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut